Trauma dan gejalanya menurut Ahli. (Foto Ilustrasi: Freepik)

PIFA, Lifestyle - Trauma seringkali semata dianggap sebagai dampak dari kejadian di masa lalu. Sebagian orang tidak menyadari bahwa trauma jauh lebih kompleks dan subjektif tergantung tiap-tiap individu yang mengalaminya.

“Trauma adalah reaksi tubuh yang terjadi di saat ini akibat peristiwa yang terjadi di masa lalu. Jadi bukan tentang kejadiannya saja, ini tentang reaksi tubuh yang ada saat ini," kata Psikiater Jiemi Ardian.

Jiemi menjelaskan bahwa reaksi tubuh yang dimaksud adalah reaksi yang ingin melindungi diri secara terus-menerus atau merasa terancam misalnya, takut, cemas, tegang, atau bersiap siaga terhadap adanya ‘stressor’ sehingga kita menyebutnya mudah terpicu atau sensitif.

Menurut Jiemi, orang yang memiliki trauma kerap alami kilas balik atau ‘flash back’ secara mendadak.

Memori buruk dapat muncul begitu saja meski tidak sedang diingat-ingat.

Lebih lanjut, Jiemi mengungkapkan terdapat beberapa jenis trauma yang ada beserta gejalanya.

Kategori Trauma

1. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

PTSD atau Gangguan Stres Pasca Trauma merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya teringat pada kejadian traumatis. Beberapa peristiwa traumatis yang dapat memicu PTSD adalah perang, kecelakaan, bencana alam, dan pelecehan seksual.

2. Complex Post Traumatic Stress Disorder (CPTSD)

CPTSD adalah kondisi dimana pengidap mengalami beberapa gejala PTSD disertai beberapa gejala tambahan, salah satunya kesulitan mengendalikan emosi.

3. Post Traumatic Stress Symptom (PTSS)

Seseorang dengan PTSS akan sering mengalami ‘flash back’ emosional diiringi perasaan intens seperti ketakutan, malu, sedih, atau putus asa.

4. Developed Mental Trauma

Developed Mental Trauma atau trauma pada masa perkembangan adalah hasil dari pengalaman masa kanak-kanak yang berefek hingga dewasa, seperti merasa tidak diinginkan, diabaikan, dianiaya, dilecehkan, yang telah berulang kali terjadi.

Gejala Trauma

Jiemi mengungkapkan, seluruh jenis trauma tersebut memiliki gejala yang dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yakni ‘hyperarousal’ dan ‘hypoarousal’.

Hyperarousal terjadi ketika tubuh seseorang tiba-tiba menjadi sangat waspada ketika terpicu suatu hal yang menyebabkan trauma.

Tubuh pengidap hyperarousal akan bertindak waspada seolah-olah sedang dalam bahaya, diiringi perasaan gelisah, amarah yang di luar kendali bahkan cenderung ingin bertarung atau melarikan diri.

Sedangkan ‘Hypoarousal’ adalah sebaliknya, seperti respon tubuh yang berkurang, kelelahan, mati rasa emosional bahkan depresi. Gejala ini membuat tubuh orang yang memiliki trauma membeku tidak dapat melakukan apa pun.

Orang tanpa trauma akan cenderung merasa aman, terkendali terhadap pikiran, pilihan dan keputusan dalam segala aspek hidup, namun tidak bagi para pejuang trauma.

“Contoh sederhananya bila seseorang memiliki trauma pernah dikejar macan, lalu dia mengalami serangan panik karena melihat seorang wanita mengenakan celana bermotif hewan tersebut. Jika dilihat dari luar mungkin terlihat sangat berlebihan tapi bila kita melihat lebih detail, ini adalah respon penyelamatan tubuh yang sangat jenius, tubuh langsung mengirimkan sinyal begitu saja untuk kita bereaksi mengamankan diri,” ungkap Jiemi.

Namun begitu, pejuang trauma seringkali terganggu dengan respon cepat tersebut. Karena pada kenyataannya, kita tidak sedang di dalam hutan dan hidup di tempat yang aman dari ancaman itu. (b)

PIFA, Lifestyle - Trauma seringkali semata dianggap sebagai dampak dari kejadian di masa lalu. Sebagian orang tidak menyadari bahwa trauma jauh lebih kompleks dan subjektif tergantung tiap-tiap individu yang mengalaminya.

“Trauma adalah reaksi tubuh yang terjadi di saat ini akibat peristiwa yang terjadi di masa lalu. Jadi bukan tentang kejadiannya saja, ini tentang reaksi tubuh yang ada saat ini," kata Psikiater Jiemi Ardian.

Jiemi menjelaskan bahwa reaksi tubuh yang dimaksud adalah reaksi yang ingin melindungi diri secara terus-menerus atau merasa terancam misalnya, takut, cemas, tegang, atau bersiap siaga terhadap adanya ‘stressor’ sehingga kita menyebutnya mudah terpicu atau sensitif.

Menurut Jiemi, orang yang memiliki trauma kerap alami kilas balik atau ‘flash back’ secara mendadak.

Memori buruk dapat muncul begitu saja meski tidak sedang diingat-ingat.

Lebih lanjut, Jiemi mengungkapkan terdapat beberapa jenis trauma yang ada beserta gejalanya.

Kategori Trauma

1. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

PTSD atau Gangguan Stres Pasca Trauma merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya teringat pada kejadian traumatis. Beberapa peristiwa traumatis yang dapat memicu PTSD adalah perang, kecelakaan, bencana alam, dan pelecehan seksual.

2. Complex Post Traumatic Stress Disorder (CPTSD)

CPTSD adalah kondisi dimana pengidap mengalami beberapa gejala PTSD disertai beberapa gejala tambahan, salah satunya kesulitan mengendalikan emosi.

3. Post Traumatic Stress Symptom (PTSS)

Seseorang dengan PTSS akan sering mengalami ‘flash back’ emosional diiringi perasaan intens seperti ketakutan, malu, sedih, atau putus asa.

4. Developed Mental Trauma

Developed Mental Trauma atau trauma pada masa perkembangan adalah hasil dari pengalaman masa kanak-kanak yang berefek hingga dewasa, seperti merasa tidak diinginkan, diabaikan, dianiaya, dilecehkan, yang telah berulang kali terjadi.

Gejala Trauma

Jiemi mengungkapkan, seluruh jenis trauma tersebut memiliki gejala yang dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yakni ‘hyperarousal’ dan ‘hypoarousal’.

Hyperarousal terjadi ketika tubuh seseorang tiba-tiba menjadi sangat waspada ketika terpicu suatu hal yang menyebabkan trauma.

Tubuh pengidap hyperarousal akan bertindak waspada seolah-olah sedang dalam bahaya, diiringi perasaan gelisah, amarah yang di luar kendali bahkan cenderung ingin bertarung atau melarikan diri.

Sedangkan ‘Hypoarousal’ adalah sebaliknya, seperti respon tubuh yang berkurang, kelelahan, mati rasa emosional bahkan depresi. Gejala ini membuat tubuh orang yang memiliki trauma membeku tidak dapat melakukan apa pun.

Orang tanpa trauma akan cenderung merasa aman, terkendali terhadap pikiran, pilihan dan keputusan dalam segala aspek hidup, namun tidak bagi para pejuang trauma.

“Contoh sederhananya bila seseorang memiliki trauma pernah dikejar macan, lalu dia mengalami serangan panik karena melihat seorang wanita mengenakan celana bermotif hewan tersebut. Jika dilihat dari luar mungkin terlihat sangat berlebihan tapi bila kita melihat lebih detail, ini adalah respon penyelamatan tubuh yang sangat jenius, tubuh langsung mengirimkan sinyal begitu saja untuk kita bereaksi mengamankan diri,” ungkap Jiemi.

Namun begitu, pejuang trauma seringkali terganggu dengan respon cepat tersebut. Karena pada kenyataannya, kita tidak sedang di dalam hutan dan hidup di tempat yang aman dari ancaman itu. (b)

0

0

You can share on :

0 Komentar

Berita Lainnya