Foto: Istimewa

Berita Kalbar, PIFA - Kadiv Kajian dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mengungkapkan, setelah sejumlah wilayah di Kabupaten Kapuas Hulu mengalami banjir yang terjadi masing-masing pada Juli, Agustus, September, Oktober dan bahkan hingga pada November 2021 saat ini bencana ekologis banjir terjadi pula pada wilayah Melawi, Sekadau, Sanggau dan wilayah Kabupaten Ketapang saat ini. 

"Di Kabupaten Sintang, banjir yang mulai Kamis, 21 Oktober  hingga 5 November 2021 lalu, masih menggenangi sejumlah wilayah kecamatan, termasuk di sejumlah ruas jalan utama Kota Bumi Senentang. Bencana banjir di Kalimantan Barat bahkan terjadi sejak Januari 2021 dan bahkan setiap kabupaten/kota mengalami situasi tersebut," ungkap Adam melalui keterangan tertulisnya, Kamis (11/11/2021).

Adam juga mengatakan, selain bencana longsor di Sanggau beberapa waktu lalu, angin disertai badai kencang juga melanda sejumlah wilayah di daerah Sepauk Hulu yang menyebabkan sejumlah pohon karet, durian, jering maupun pohon lainnya patah dan tumbang pada 27 Oktober 2021. 

"Bahkan di Kampung Pampuk Kuai, jembatan penghubung menuju lahan ladang maupun kebun warga yang dibangun di atas Sungai Sepauk, putus akibat diterjang aur air yang sempat derasnya beberapa waktu lalu," katanya.

Tingginya intensitas hujan yang terjadi di daerah perhuluan Kalimantan Barat, menurut Adam, menjadi pemicu bencana ekologis banjir. 

Demikian juga dengan bencana lain yang menyertainya seperti angin dan longsor, mengakibatkan warga mengalami kerugian.

"Terkendalanya komunikasi, transportasi hingga korban meninggal sebagaimana terjadi di Sintang beberapa waktu lalu. Dibalik kondisi cuaca yang terjadi, Peladang di Kalimantan Barat terganggu musim tanam ladangnya karena dihadapkan pada situasi cuaca penghujang pasa saat semestinya musim membersihkan ladang dengan cara bakar dilakukan," papar Adam.

Selain bencana ekologis banjir, angin puting beliung dan longsor, petaka asap akibat kebakaran pada ekosistem gambut dimusim kemarau juga kerap terjadi di Kalimantan Barat. 

Berbeda dengan bencana banjir yang kerap dituduh sebagai penyebabnya adalah hujan, maka pada isu sekitar petaka asap masyarakat yang bertani ladang menjadi pihak yang kerap mendapat label sebagai penyebab dari kejadian tersebut. 

"Tentu kedua tuduhan tersebut tidak tepat, terlebih selama ini praktik ekstraksi sumberdaya alam melalui pembukaan hutan/lahan melalui legitimasi curah izin untuk korporasi dalam skalanya yang luas di Kalimantan Barat telah berlangsung sangat lama," katanya.

Bagi Adam, hujan hanya pemantik saja terkait dengan bencana ekologis banjir yang terjadi. 

Lebih dari itu, bencana ekologis yang kerap terjadi lebih disebabkan akibat ekstraksi sumberdaya massif yang menyebabkan bentang alam wilayah daerah aliran sungai di Kalimantan Barat telah kehilangan keseimbangan. 

Sementara, peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang biasanya terjadi pada ekosistem gambut di wilayah berkonsesi justeru tidak mendapat penanganan maupun tindakan hukum tergas selama ini. 

"Sebaliknya, masyarakat perorangan dalam hal ini Peladang yang menghindari membuka gambut untuk berladang justeru kerap disasar dan rentan menjadi korban berlapis atas nama pencegahan karhutla," kata Adam menyayangkan.

Adam menilai, bencana ekologis seperti banjir, longsor, puting beliung maupun petaka asap akibat karhutla merupakan dampak dari fenomena kondisi krisis iklim yang terjadi dengan ditandai anomali cuaca ekstrim. 

Situasi ini melahirkan bencana ekologis yang terus terulang dengan ekskalasinya cenderung meningkat sehingga menimbulkan fenomena darurat ekologis. 

Pada saat yang sama, praktik ekstraksi sumberdaya alam melalui curah izin justru terus terjadi tanpa dibarengi dengan usaha penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan pada pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran, perbaikan dan pemulihan terhadap kerusakan yang dialami.

Berita Kalbar, PIFA - Kadiv Kajian dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mengungkapkan, setelah sejumlah wilayah di Kabupaten Kapuas Hulu mengalami banjir yang terjadi masing-masing pada Juli, Agustus, September, Oktober dan bahkan hingga pada November 2021 saat ini bencana ekologis banjir terjadi pula pada wilayah Melawi, Sekadau, Sanggau dan wilayah Kabupaten Ketapang saat ini. 

"Di Kabupaten Sintang, banjir yang mulai Kamis, 21 Oktober  hingga 5 November 2021 lalu, masih menggenangi sejumlah wilayah kecamatan, termasuk di sejumlah ruas jalan utama Kota Bumi Senentang. Bencana banjir di Kalimantan Barat bahkan terjadi sejak Januari 2021 dan bahkan setiap kabupaten/kota mengalami situasi tersebut," ungkap Adam melalui keterangan tertulisnya, Kamis (11/11/2021).

Adam juga mengatakan, selain bencana longsor di Sanggau beberapa waktu lalu, angin disertai badai kencang juga melanda sejumlah wilayah di daerah Sepauk Hulu yang menyebabkan sejumlah pohon karet, durian, jering maupun pohon lainnya patah dan tumbang pada 27 Oktober 2021. 

"Bahkan di Kampung Pampuk Kuai, jembatan penghubung menuju lahan ladang maupun kebun warga yang dibangun di atas Sungai Sepauk, putus akibat diterjang aur air yang sempat derasnya beberapa waktu lalu," katanya.

Tingginya intensitas hujan yang terjadi di daerah perhuluan Kalimantan Barat, menurut Adam, menjadi pemicu bencana ekologis banjir. 

Demikian juga dengan bencana lain yang menyertainya seperti angin dan longsor, mengakibatkan warga mengalami kerugian.

"Terkendalanya komunikasi, transportasi hingga korban meninggal sebagaimana terjadi di Sintang beberapa waktu lalu. Dibalik kondisi cuaca yang terjadi, Peladang di Kalimantan Barat terganggu musim tanam ladangnya karena dihadapkan pada situasi cuaca penghujang pasa saat semestinya musim membersihkan ladang dengan cara bakar dilakukan," papar Adam.

Selain bencana ekologis banjir, angin puting beliung dan longsor, petaka asap akibat kebakaran pada ekosistem gambut dimusim kemarau juga kerap terjadi di Kalimantan Barat. 

Berbeda dengan bencana banjir yang kerap dituduh sebagai penyebabnya adalah hujan, maka pada isu sekitar petaka asap masyarakat yang bertani ladang menjadi pihak yang kerap mendapat label sebagai penyebab dari kejadian tersebut. 

"Tentu kedua tuduhan tersebut tidak tepat, terlebih selama ini praktik ekstraksi sumberdaya alam melalui pembukaan hutan/lahan melalui legitimasi curah izin untuk korporasi dalam skalanya yang luas di Kalimantan Barat telah berlangsung sangat lama," katanya.

Bagi Adam, hujan hanya pemantik saja terkait dengan bencana ekologis banjir yang terjadi. 

Lebih dari itu, bencana ekologis yang kerap terjadi lebih disebabkan akibat ekstraksi sumberdaya massif yang menyebabkan bentang alam wilayah daerah aliran sungai di Kalimantan Barat telah kehilangan keseimbangan. 

Sementara, peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang biasanya terjadi pada ekosistem gambut di wilayah berkonsesi justeru tidak mendapat penanganan maupun tindakan hukum tergas selama ini. 

"Sebaliknya, masyarakat perorangan dalam hal ini Peladang yang menghindari membuka gambut untuk berladang justeru kerap disasar dan rentan menjadi korban berlapis atas nama pencegahan karhutla," kata Adam menyayangkan.

Adam menilai, bencana ekologis seperti banjir, longsor, puting beliung maupun petaka asap akibat karhutla merupakan dampak dari fenomena kondisi krisis iklim yang terjadi dengan ditandai anomali cuaca ekstrim. 

Situasi ini melahirkan bencana ekologis yang terus terulang dengan ekskalasinya cenderung meningkat sehingga menimbulkan fenomena darurat ekologis. 

Pada saat yang sama, praktik ekstraksi sumberdaya alam melalui curah izin justru terus terjadi tanpa dibarengi dengan usaha penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan pada pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran, perbaikan dan pemulihan terhadap kerusakan yang dialami.

0

0

You can share on :

0 Komentar