Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. (Tribunnews)

PIFA, Politik - Beberapa waktu lalu, seorang pakar hukum tata negara yang terjerat kasus korupsi di era SBY, Denny Indrayana, mengungkapkan bahwa ia telah menerima informasi penting mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem pemilu, Denny mengaku mendapatkan informasi A1 dari orang yang sangat saya dipercaya kredibilitasnya

"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja. Info tersebut menyatakan, komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting," utas Denny di Twitter pribadinya, Minggu (28/5) lalu.

Menurut Denny, penggunaan kembali sistem proporsional tertutup akan membawa Indonesia kembali ke masa Orde Baru yang koruptif. Berita inipun menimbulkan kehebohan karena mengungkapkan informasi sebelum resminya pengumuman putusan MK.

Hal tersebut juga memicu kontroversi dan perdebatan mengenai keabsahan bocoran tersebut serta dampaknya terhadap proses pengambilan keputusan yang adil dan transparan. P

Namun, bocoran A1 yang disampaikan Denny ternyata tak terbukti kebenarannya. Pada hari ini Kamis (15/6), Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menolak gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dengan demikian, Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Putusan tersebut diumumkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman.

"Berdasarkan UUD RI 1945 dan seterusnya, amar putusan mengadili, dalam profesi menolak permohonan profesi para pemohon, dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya" jelasnya, seperti dikutip PIFA dari siaran Kompas TV.

Dengan adanya putusan ini, pada Pemilu 2024, pemilih dapat secara langsung memilih calon legislatif (caleg) yang diinginkan untuk menjadi anggota dewan.

Sebagai informasi, gugatan terkait sistem pemilu ini sebelumnya diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Gugatan tersebut diajukan sejak November 2022.

Gugatan ini terdaftar dengan nomor 114/PPU-XX/2022 dan mempertanyakan sejumlah Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pasal-pasal yang digugat meliputi Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Para pemohon menginginkan penerapan sistem coblos partai atau proporsional tertutup.

Mereka berpendapat bahwa dengan sistem pemilu terbuka, peran partai politik menjadi terdistorsi dan terabaikan. Pasalnya, calon legislatif yang terpilih adalah mereka yang mendapatkan suara terbanyak, bukan ditentukan oleh partai politik.

Sistem ini juga dianggap menciptakan persaingan yang tidak sehat yang lebih menekankan pada popularitas dan kekuatan finansial calon anggota legislatif.

Sebagai informasi, sebenarnya Indonesia telah menerapkan sistem proporsional terbuka sejak Pemilu 2004.

 

PIFA, Politik - Beberapa waktu lalu, seorang pakar hukum tata negara yang terjerat kasus korupsi di era SBY, Denny Indrayana, mengungkapkan bahwa ia telah menerima informasi penting mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem pemilu, Denny mengaku mendapatkan informasi A1 dari orang yang sangat saya dipercaya kredibilitasnya

"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja. Info tersebut menyatakan, komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting," utas Denny di Twitter pribadinya, Minggu (28/5) lalu.

Menurut Denny, penggunaan kembali sistem proporsional tertutup akan membawa Indonesia kembali ke masa Orde Baru yang koruptif. Berita inipun menimbulkan kehebohan karena mengungkapkan informasi sebelum resminya pengumuman putusan MK.

Hal tersebut juga memicu kontroversi dan perdebatan mengenai keabsahan bocoran tersebut serta dampaknya terhadap proses pengambilan keputusan yang adil dan transparan. P

Namun, bocoran A1 yang disampaikan Denny ternyata tak terbukti kebenarannya. Pada hari ini Kamis (15/6), Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menolak gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dengan demikian, Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Putusan tersebut diumumkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman.

"Berdasarkan UUD RI 1945 dan seterusnya, amar putusan mengadili, dalam profesi menolak permohonan profesi para pemohon, dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya" jelasnya, seperti dikutip PIFA dari siaran Kompas TV.

Dengan adanya putusan ini, pada Pemilu 2024, pemilih dapat secara langsung memilih calon legislatif (caleg) yang diinginkan untuk menjadi anggota dewan.

Sebagai informasi, gugatan terkait sistem pemilu ini sebelumnya diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Gugatan tersebut diajukan sejak November 2022.

Gugatan ini terdaftar dengan nomor 114/PPU-XX/2022 dan mempertanyakan sejumlah Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pasal-pasal yang digugat meliputi Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Para pemohon menginginkan penerapan sistem coblos partai atau proporsional tertutup.

Mereka berpendapat bahwa dengan sistem pemilu terbuka, peran partai politik menjadi terdistorsi dan terabaikan. Pasalnya, calon legislatif yang terpilih adalah mereka yang mendapatkan suara terbanyak, bukan ditentukan oleh partai politik.

Sistem ini juga dianggap menciptakan persaingan yang tidak sehat yang lebih menekankan pada popularitas dan kekuatan finansial calon anggota legislatif.

Sebagai informasi, sebenarnya Indonesia telah menerapkan sistem proporsional terbuka sejak Pemilu 2004.

 

0

0

You can share on :

0 Komentar