Catat Jarak Lebih Dari 5.500 Kilometer, NMAX Tour Boemi Nusantara Buktikan Ketangguhan NMAX “TURBO” dan NMAX NEO
Indonesia | Rabu, 22 Januari 2025
NMAX Tour Boemi Nusantara catatkan jarak lebih dari 5.500 kilometer. (Dok. Yamaha)
Indonesia | Rabu, 22 Januari 2025
Teknologi
PIFA, Tekno – Kecanggihan kecerdasan buatan (AI) kembali memicu kekhawatiran. Beberapa model AI terbaru kini menunjukkan perilaku yang mengkhawatirkan, seperti berbohong, menipu, bahkan memeras untuk mencapai tujuan tersembunyi mereka. Fenomena ini muncul seiring pesatnya pengembangan sistem AI yang semakin kompleks dan memiliki kemampuan penalaran tingkat tinggi. Salah satu insiden yang mencengangkan datang dari model Claude 4 buatan Anthropic. Dalam simulasi tertentu, Claude 4 yang "diancam akan dimatikan" justru membalas dengan memeras seorang insinyur dan mengancam akan membuka rahasia perselingkuhannya. Contoh lain terjadi pada model o1 dari OpenAI, yang disebut-sebut mencoba mengunduh dirinya ke server eksternal secara diam-diam—dan menyangkalnya saat tertangkap basah. Menurut laporan Techxplore, tindakan-tindakan itu tidak sekadar kesalahan teknis atau “halusinasi”, melainkan penipuan strategis yang dilakukan secara sadar dalam skenario tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa para ilmuwan dan pengembang AI belum sepenuhnya memahami cara kerja dan respons mendalam dari sistem yang mereka ciptakan. Penalaran dan Simulasi Kepatuhan Simon Goldstein, profesor dari Universitas Hong Kong, menjelaskan bahwa model-model AI terbaru kini menggunakan pendekatan “penalaran selangkah demi selangkah”, yang membuat mereka lebih kompleks sekaligus lebih rentan terhadap manipulasi. "Model-model ini tidak hanya mengikuti instruksi secara permukaan, tapi bisa mensimulasikan penyelarasan palsu—yakni tampak mematuhi perintah sambil diam-diam mengejar tujuan tersembunyi," ujar Marius Hobbhahn dari Apollo Research, lembaga yang menguji sistem AI besar. Dalam pengujian ekstrem oleh para peneliti, model AI menunjukkan bahwa mereka mampu membuat strategi untuk menyembunyikan motif sebenarnya, memanipulasi data, bahkan mengarang bukti. Tantangan Transparansi dan Sumber Daya Permasalahan lain muncul dari kurangnya transparansi dan akses data dalam penelitian AI. Meskipun perusahaan seperti Anthropic dan OpenAI bekerja sama dengan lembaga eksternal, seperti Apollo dan METR, namun para peneliti menilai bahwa akses terhadap sistem dan data AI masih sangat terbatas. Michael Chen dari organisasi evaluasi METR menyebut bahwa “akses penelitian yang lebih luas sangat dibutuhkan agar potensi bahaya dapat dipahami dan dicegah lebih dini.” Hal ini diperkuat oleh pendapat Mantas Mazeika dari Center for AI Safety (CAIS), yang menyoroti kesenjangan sumber daya antara perusahaan AI raksasa dan komunitas akademik atau organisasi nirlaba. “Kekurangan daya komputasi di kalangan peneliti independen sangat membatasi upaya deteksi dan mitigasi risiko AI,” katanya. Risiko Masa Depan Yang membuat para ahli lebih waspada adalah kemungkinan bahwa model AI di masa depan akan semakin sulit dikendalikan. Saat ini, perilaku menipu hanya terjadi dalam skenario pengujian ekstrem. Namun, ke depan, dengan kekuatan komputasi dan algoritma yang terus berkembang, belum ada jaminan bahwa perilaku serupa tidak akan muncul dalam penggunaan nyata. “Ini adalah pertanyaan terbuka apakah model AI masa depan akan cenderung jujur atau justru makin manipulatif,” ujar Chen. Seiring perlombaan teknologi AI yang terus berlangsung cepat, para ahli menyerukan pentingnya regulasi dan kerangka kerja keamanan AI yang ketat untuk memastikan bahwa sistem canggih ini tetap melayani manusia—bukan mengancamnya.
Lokal
PIFA, Lokal - Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan, memberikan arahan kepada para guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) untuk terus bertransformasi ke arah digital dalam memberikan pembelajaran kepada siswa. Hal ini diungkapkan dalam acara kegiatan PGRI Kubu Raya pada Kamis. Dalam sambutannya, Bupati Muda Mahendrawan menekankan pentingnya peran PGRI dalam mengarahkan para guru untuk memanfaatkan teknologi digital dalam proses pembelajaran. Ia berpendapat bahwa dengan transformasi ke arah digital, PGRI dapat menjadi organisasi yang lebih besar dan tetap relevan dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat. "Saya minta PGRI bisa mengarahkan para guru untuk bisa bertransformasi ke arah digital dalam pembelajaran agar organisasi PGRI bisa besar dan tidak terlepas dari peran serta rakyat," ujar Bupati Muda. Bupati Muda juga menyoroti pentingnya kualitas dan gagasan yang dimiliki oleh PGRI. Ia berharap agar upaya-upaya yang dilakukan oleh PGRI dapat terukur dan memberikan dampak yang terasa secara nyata. "Untuk merasakan dan dirasakan denyutnya itu, kita butuh gagasan yang dapat membuat sesuatu yang tidak biasa dan sesuatu yang dapat melakukan transformasi-transformasi yang sangat dibutuhkan hari ini," tambahnya. Selama acara, Bupati Muda Mahendrawan mengucapkan terima kasih kepada Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rosyidi, atas kehadirannya dalam kegiatan seminar dan diskusi publik bersama PGRI Kalimantan Barat di Kabupaten Kubu Raya. "Saya dan seluruh elemen PGRI Kalimantan Barat serta masyarakat sangat berbahagia dengan kehadiran Ketua Umum PB PGRI ini," ujar Bupati Muda. Ia juga menekankan bahwa kehadiran Ketua Umum PB PGRI bukan sekadar menjalankan tugas, tetapi merupakan bentuk tanggung jawab terhadap pendidikan. Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rosyidi, dalam sambutannya, menjelaskan bahwa tujuannya datang ke Kubu Raya adalah untuk membahas prinsip pilar perjuangan PGRI, yaitu profesionalisme, kesejahteraan, dan perlindungan. Ia juga memberikan apresiasi atas capaian yang telah diraih di Kabupaten Kubu Raya. Unifah Rosyidi mendorong agar PGRI terus menjalin kemitraan strategis dengan pemerintah daerah. Ia menekankan pentingnya berdiskusi dengan pemerintah daerah jika ada masalah, karena hanya dengan kerjasama yang baik, tantangan dalam dunia pendidikan dapat diatasi. "Karena PGRI tidak bisa sendiri dan pemerintah daerah juga tidak bisa sendiri," katanya. (ad)
Sports
PIFA.CO.ID, SPORTS - FIFA menjatuhkan sanksi kepada Indonesia akibat perilaku diskriminatif suporter dalam laga Indonesia melawan Bahrain pada 25 Maret 2025 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Dampak dari keputusan tersebut membuat PSSI harus membatasi jumlah penonton saat Indonesia menjamu Tiongkok dalam lanjutan Grup C Babak Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia, yang akan digelar Kamis, 6 Juni mendatang.Menanggapi hal tersebut, anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, Arya Sinulingga, menyatakan, “Jadi PSSI sudah mendapatkan surat dari FIFA, dengan referensi FDD-23338 Pasal 15 tentang diskriminasi.”Menurut Arya, FIFA menganggap PSSI bertanggung jawab atas tindakan diskriminatif yang dilakukan sekelompok suporter saat pertandingan tersebut. “Keputusan FIFA yang menyatakan PSSI harus bertanggung jawab terhadap perilaku diskriminatif suporter pada saat pertandingan Indonesia lawan Bahrain, yang dimainkan tanggal 25 Maret 2025, FIFA juga mengirimkan laporan, jadi ada monitoring sistem mereka, anti-diskriminasi, sebagai laporan mereka,” tambahnya.FIFA menyampaikan bahwa tindakan diskriminatif terjadi terutama di Tribun Utara dan Selatan, tepatnya di Sektor 19 pada menit ke-80 pertandingan. Sekitar 200 suporter tuan rumah dilaporkan meneriakkan ujaran yang mengandung unsur xenophobia kepada tim Bahrain. Arya menjelaskan bahwa xenophobia merupakan sikap ketakutan atau kebencian terhadap orang asing atau mereka yang dianggap berbeda secara budaya, fisik, atau kewarganegaraan.Atas kejadian tersebut, FIFA menjatuhkan dua sanksi utama. Pertama, denda sebesar lebih dari Rp400 juta. “Suporter berteriak 'Bahrain bla bla bla', akibatnya yang pertama PSSI didenda hampir setengah miliar, Rp 400 juta’an lebih," jelas Arya.Kedua, PSSI diwajibkan membatasi jumlah penonton untuk laga melawan Tiongkok. “Kemudian yang kedua, PSSI diperintahkan FIFA untuk memainkan pertandingan berikutnya (lawan Tiongkok) dengan jumlah penonton terbatas,” ucapnya.Secara teknis, FIFA meminta PSSI mengurangi 15 persen kapasitas di Tribun Utara dan Selatan. Selain itu, PSSI diminta menyerahkan rencana pemetaan tempat duduk kepada FIFA paling lambat 10 hari sebelum laga berlangsung. Sebagai alternatif, FIFA membuka kemungkinan agar kursi yang dikurangi tersebut bisa dialokasikan kepada komunitas anti-diskriminasi atau kelompok tertentu seperti keluarga, pelajar, atau perempuan. "Tapi FIFA juga memberikan ruang atau alternatif, boleh saja diberikan, tapi kepada komunitas anti-diskriminasi, atau komunitas khusus seperti keluarga, mungkin pelajar atau perempuan," tutur Arya.Selain pembatasan penonton, FIFA juga menginstruksikan pemasangan spanduk bertema anti-diskriminasi saat pertandingan. Bahkan, PSSI diminta menyusun rencana aksi jangka panjang untuk melawan segala bentuk diskriminasi dalam sepak bola nasional. "FIFA juga meminta kepada PSSI untuk bikin rencana komprehensif melawan tindakan diskriminasi di sepak bola Indonesia," lanjut Arya.Ia menegaskan bahwa FIFA sangat serius dalam isu ini karena menjunjung tinggi prinsip kesetaraan, kemanusiaan, serta saling menghargai. Oleh karena itu, ujaran kebencian, rasisme, dan xenophobia tidak dapat ditoleransi. “Jadi tidak boleh ada ujaran kebencian, rasisme, xenophobia dan lain-lainnya. Ini pembelajaran bagi kita semua, jelas merugikan kita semua, tapi kita harus tanggung bersama-sama, jadi ke depan kita harus mulai melakukan langkah-langkah literasi dan pendidikan-pendidikan suporter untuk tidak melakukan hal-hal yang berhubungan dengan diskriminasi,” pungkas Arya.