Anak-anak di Desa Retok sedang memainkan alat musik Jonggan di Gereja Dokumentasi Deo

Merajut dan memupuk keberagaman ternyata tak hanya bisa dilakukan dengan pendandatanganan fakta damai atau seremonialitas belaka. Warga Desa Retok di Kubu Raya telah membuktikannya. Lewat seni Jonggan dan Ronggeng, Dayak dan Madura di desa ini hidup berdampingan sejak tahun 80an. Bahkan kini penerus generasi melebarkan bentuk keberagaman melalui sepak bola. Tak hanya itu, keistimewaan keberagaman desa ini juga karena memiliki tester halal untuk setiap panganan saat kegiatan masyarakat dilaksanakan. Lalu bagaimana kisahnya? Berikut reportase keberagaman dari Desa Retok yang dihimpun Bella :

Berita Kubu Raya, PIFA - Jalanan berdebu, khas jalan perintis perkebunan kelapa sawit serta cuaca yang panas menjadi pemandangan kurang lebih tiga jam untuk sampai di Desa Retok, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Desa ini memang sulit dilalui dari Kota Pontianak. Jika hujan, jangan pernah berharap bisa tiba di Retok melalui jalur darat. Jalanan berlumpur tanah dan tanpa penerangan, membuat suramnya perjalanan. Alhasil, kapal motor air digunakan yang menyusuri sungai Kapuas. 

Namun, Desa Retok ternyata memiliki cerita keberagaman tersendiri. Desa yang mayoritas dihuni oleh dua suku dan agama yang berbeda yakni Dayak dan Madura ini, hidup berdampingan, saling membantu hingga melibatkan dalam setiap kegiatan. 

Satu di antara Tokoh Adat Dayak yang pernah menjabat sebagai Tumenggung Desa Retok, Baniel (66) membenarkan anggapan itu. 

Tiba di rumahnya, Baniel menyambut kami dengan ramah. Teh hangat tersaji. Sembari menyeruput manisnya teh hangat ini, Baniel pun mulai menceritakan hubungan interaksinya dengan saudaranya yang dari suku Madura. 

"Kami sejak dulu ngumpul, berteman, termasuk makanpun sama. Sama-sama makan singkong,” ujarnya mengawali cerita dengan tersenyum sembari mengenang masa kecilnya.

Ingatan masa kecil Baniel membawanya pada ingatan tentang Jonggan, yang merupakan salah satu kesenian tari dan musik tradisional suku Dayak Kanayatn yang cukup populer pada masanya. 

"Jaman dulu, kalau Jonggan main, Madura yang ngebeng (nyawer atau nari)," katanya sambil tertawa mengingat masa lalu.

Demi mendengar cerita Jonggan, Akui, Istri Pak Baniel yang awalnya hanya ikut mendengarkan sesaat setelah menyuguhkan minuman, Akui pun ikut terbawa masa lalu. Mereka berdua pun bersahutan bercerita, saat itu sekitar tahun 70an hingga tahun 80an, di malam-malam pesta, di bawah alunan berbagai alat musik tradisional yang mengiringi tarian para penari Jonggan, para penonton pun ikut menari.

Suasana begitu cair, semua tampak menikmati, tidak ada perbedaan baik suku, agama, atau latar belakang penonton. Semua yang hadir pada malam itu hanya memiliki satu tujuan, datang untuk menikmati hiburan.

Menurut Baniel, pada waktu itu, setiap hari besar seperti HUT Kemerdekaan, pesta panen padi hingga acara pernikahan selalu ada Jonggan digelar.

"Kalau dulu, orang Dayak bikin Jonggan ramai Madura nonton. Kalau Madura bikin Ronggeng,  ramai Dayak nonton," katanya.

Tak hanya Baniel. Kami pun merekam ingatan akan keberagaman melalui seni Jonggan dari, satu di antara warga Madura, Marhawi (60). Ia lahir dan besar di Retok. Rumahnya hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah Baniel. Sebagai Warga Retok, Marhawi akrab dengan lingkungan dan kesenian di Desa Retok termasuk Jonggan.

Para penari jonggan saat tampil menari di sebuah acara pernikahan/Dokumentasi: Deo

"Saat saya bujang dulu, saya sering sekali nonton kesenian Jonggan. Bahkan hampir setiap malam bila ada kesenian Jonggan yang diadakan oleh orang Dayak” ungkapnya.

Bagi Marhawi, menonton Jonggan menjadi pengalaman yang sangat seru dan menyenangkan, karena bisa bergaul dan berteman dengan orang Dayak.

"Bahkan saya juga bisa menggoda gadis Dayak" katanya sambil berkelakar dan tertawa puas mengenang masa mudanya.

Para penari jonggan di Retok foto bersama usai tampil diatas panggung/dokumentai: Deo

Menonton Jonggan, bagi Marhawi bukan hanya hiburan semata, namun juga untuk mengenal kesenian dan bahasa Dayak, khususnya Dayak Kanayatn yang ada di Retok.

"Saya menonton kesenian Jonggan itu untuk mengenal kesenian daerah orang Dayak yang ada di Desa Retok. Untuk belajar bahasa Dayak, sehingga sekarang ini saya fasih berbahas Dayak ahe dan juga untuk menambah teman orang Dayak dan mempererat persaudaraan dan pertemanan dengan orang Dayak," kata Marhawi.

Kami lantas meminta marhawi memberi contoh berbicara menggunakan bahasa Dayak Ahe. Benar saja, Marhawi berbicara dengan luwes dan lancar. Bahkan logat bahasa Madura yang kental nyaris tidak terdengar darinya saat berbicara menggunakan bahasa Dayak. 

Lahir dan besar di Desa Retok, Marhawi punya kenangan dan penilaian tersendiri ketika hidup berdampingan dengan warga suku Dayak.

"Bagi saya, berdampingan hidup dengan orang Dayak sangat menyenangkan karena mereka orangnya baik, ramah, sopan dan juga mau membantu bila kita ada masalah," ungkapnya.

"Hidup dengan orang Dayak itu tergantung dari diri kita juga, bila kita tidak macam-macam maka orang Dayak itu juga tidak akan macam-macam pada kita. Begitu pula sebaliknya. Bila kita baik, ramah dan santun, mereka akan lebih baik, ramah dan santun juga ke kita," lanjut Marhawi.

Namun, lain dulu, lain juga sekarang. Di tahun 90an, Jonggan yang sering menjadi media interaksi antar suku di Desa Retok sudah semakin jarang digelar, bahkan nyaris tidak pernah ada lagi pada saat ini.

Tetapi bukan berarti anak mudanya kehilangan ruang bersama untuk menjaga keberagaman dan persaudaraan di Desa Retok.

Bisa dibilang, Jonggan adalah ruang persaudaraan, sekaligus kenangan indah bagi generasi para orang tua di Retok. Sedang kini, bagi anak mudanya, permainan sepak bola adalah lapangan hijau untuk mereka memupuk persaudaraan dan keberagaman antar etnis dan agama.

Sepak bola pengganti Jonggan dan Ronggeng

Robertus Heriko (30), satu di antara pemain bola andalan di Retok mengaku punya ruang yang lebih untuk mengenal teman-teman dari suku maupun agama yang berbeda melalui Tim Sepak Bola Desa Retok.

"Lewat sepak bola, saya bisa lebih mengenal kawan-kawan dari segi karakter, tata krama dan bahasa mereka. Di mana saya yang beranggapan suku lain itu dulunya sombong, angkuh, pokoknya stigma tentang mereka negatif semua tetapi setelah saya mengenal mereka ternyata berbeda terbalik 180 derajat," ungkapnya.

Tim Sepak Bola Desa Retok memang memiliki anggota multi etnis. Tidak hanya beranggotakan pemuda Dayak, Tim Sepak Bola Retok juga memiliki anggota dengan etnis Madura, Tionghua, Melayu, dan lainnya.

Riko mengaku mempunyai kedekatan emosional dengan teman-temannya meski dari latar belakang etnis yang berbeda.

"Karena dari berbagai karakter, sifat dan ego kita harus mampu menyatukan demi visi dan misi kita dalam satu tim. Agar menjadi tim sepak bola yang solid dan saling bekerja sama demi tujuan yang sama dan mendapat chemistry agar tim kita kompak selalu di dalam lapangan," ungkap pria yang sudah memiliki hobi bermain sepak bola sejak SD itu.

Berkat bermain sepak bola, Riko juga jadi punya pengalaman berharga terkait keberagaman yang sulit dilupakannya. 

"Ini ceritanya waktu saya bermain bola di teluk batang Ketapang, di mana saya bermain bersama adik dan kawan saya orang Dayak untuk membantu orang sana yaitu orang Madura. Di mana kami dalam tim itu ada beberapa suku seperti Melayu, Madura dan Dayak. Saya sangat berkesan dengan bos saya yang orang Madura itu di mana kami sangat disambut seperti keluarga bahkan tinggal di rumahnya pun sudah dianggap rumah sendiri," kenangnya.

Bahkan sampai saat ini, menurut Riko dirinya masih menjalin komunikasi yang baik, walaupun sekadar bertanya kabar dan berkirim pesan melalui gawai. Baginya, hal itu menjadi pengalaman yang sangat berkesan dan sulit untuk dilupakan.

Sementara itu, Marsulin, pemain sepak bola Desa Retok, juga punya pengalaman serupa. Ketika Ia bermain sepak bola dan masuk tim dengan latar belakang suku dan budaya berbeda, Ia mengaku mendapatkan teman yang lebih beragam.

"Karena dari pengalaman bermain bola, saya lebih banyak temen dan kawan-kawan yang beda Agama atau Sukunya," terang Marsulin.

Lewat pertemuan menjadi pertemanan, Marsulin mengaku jadi lebih memahami, baik bahasa maupun karakter teman-teman yang berbeda.

"Saya lebih banyak mengerti bahasa mereka dan bagaimana cara beradaptasi dengan mereka dan saling menjaga perasaan satu sama lain," ungkapnya.

 

Retok Miliki Tester Makanan Halal

Helsiana (46), punya cerita berbeda tentang cara memupuk keberagaman yang ada di Desa Retok. Di sela kesibukannya sehari-hari menyadap karet dan berladang, dirinya sering diminta untuk memasak di acara hajatan.

Bukan sekadar memasak, Ia memiliki tanggung jawab serupa Lembaga MUI yang memberikan Sertifikat Halal untuk makanan dan kudapan yang disajikan saat ada hajatan. Ia diberikan tugas khusus untuk menyiapkan makanan halal bagi tamu muslim yang akan diundang di hajatan warga non-muslim di Desa Retok.

"Biasanya kalau ada yang syukuran, atau kawinan, kan yang datang tamunya macam-macam" terangnya.

Meskipun ia mengaku membantu dengan sukarela, namun tak jarang dirinya diberi tanda terima kasih.

"Biasanya dikasi duit, atau masakannya boleh dibawa pulang kalau ada lebih" ungkapnya.

Saat memasak, Helsiana tidak sendirian, Ia seringkali dibantu anak dan juga suaminya.

Menurutnya, hal itu bisa jadi kesempatan baginya untuk mengajari anak-anaknya banyak hal, mulai dari belajar memasak, hingga belajar menghargai sesama dan saling tolong menolong.

Sedangkan suaminya, biasanya membantu menyembelih hewan, agar hewan yang disajikan juga disembelih secara syariat islam sehingga aman untuk dikonsumsi saudara-saudara muslim yang datang di hajatan.

"Kan kalau untuk kita yang muslim biasanya kalau nyembelih ayam mesti bismilah dulu. Itu kalau menurut ajaran Islam" jelasnya.

Ia mengaku sangat senang bisa membantu sesama warga, karena hal itu dilakukannya dengan ikhlas.

"Senang saja bisa ikut membantu, dan saya niatnya ikhlas nolong sesama," katanya.

Apa yang dilakukan oleh Helsiana merupakan satu di antara perekat silaturahmi di Desa Retok, di mana warga non-muslim bisa menyajikan makanan yang halal sehingga warga muslim bisa merasa aman dan nyaman saat menghadiri undangan warga non-muslim di Desa Retok.

Salah satu perekat keberagaman etnis di Retok, khususnya di kalbar turut dipelihara oleh hadirnya berbagai organisasi masyarakat dengan latar belakang etnis yang beragam.

Di antaranya Ikatan Keluarga Besar Madura (IKAMA) yang menjadi satu di antara sekian banyak ormas yang turut memelihara keharmonisan dan kerukunan masyarakat di Kalbar.

Ketua Pelaksana Harian IKAMA Kalbar, M Soleh tak memungkiri jika kerukunan dan keharmonisan masyarakat di Kalbar cukup baik.

"Alhamdulillah ya, meskipun di Kalbar ini kita sukunya banyak, beragam tapi bisa hidup rukun dan harmonis" kata Sholeh.

IKAMA sendiri, menurut dia punya berbagai cara untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan antar etnis di Kalbar. Di antaranya dengan menjalin silaturahmi dan komunikasi yang baik antar pemuka dan tokoh-tokoh masyarakat.

"Kalau ada kegiatan budaya kita biasanya diundang. Misal ada gawai Dayak kita datang, begitu juga kalau kami punya kegiatan, mengundang saudara-saudara dari kelompok etnis lainnya, baik itu Dayak, Melayu, Cina dan lainnya" kata Sholeh.

Silaturahmi inilah, menurut Sholeh yang menjadi satu di antara perekat keberagaman etnis di Kalbar. Adanya ruang-ruang yang membuat saling bertemu, menjalin komunikasi hingga saling mengenal satu sama lainnya dan akhirnya menjadi keluarga.

Selain dalam kegiatan seni budaya, biasanya mereka juga memupuk keakraban dalam ruang-ruang yang lebih intim, yakni saling berkunjung.

"Apabila saudara-saudara DAD (Dewan Adat Dayak) merayakan Natal kita biasanya berkunjung, paling tidak kita memberikan ucapan selamat lewat pesan" ungkapnya.

Sholeh mengingatkan untuk bisa saling menjaga keharmonisan yang ada.

"Kepada kawan-kawan, khususnya etnis madura saya mengimbau untuk bisa saling mengingatkan, jangan mudah terprovokasi, jika ada masalah di lingkungannya segera komunikasikan dengan tokoh masyarakat, para tetua yang dipercaya," katanya.

Apalagi menjelang akhir tahun, menurutnya kita semua perlu waspada karena biasanya situasi jelang Natal dan Tahun Baru sering dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk membuat keributan.

"Apalagi akhir tahun seperti ini biasanya rawan, sering dibikin kekacauan oleh oknum-oknum. Kita harus waspada, saling menjaga keamanan" kata Sholeh mengingatkan.

Tak lupa ia juga mengajak semua tokoh masyarakat di Kalbar, untuk tetap saling menjaga silaturahmi, menjalin komunikasi yang baik agar bersama-sama bisa menjaga situasi yang kondusif, aman dan harmonis. (*)

 

*Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.

Merajut dan memupuk keberagaman ternyata tak hanya bisa dilakukan dengan pendandatanganan fakta damai atau seremonialitas belaka. Warga Desa Retok di Kubu Raya telah membuktikannya. Lewat seni Jonggan dan Ronggeng, Dayak dan Madura di desa ini hidup berdampingan sejak tahun 80an. Bahkan kini penerus generasi melebarkan bentuk keberagaman melalui sepak bola. Tak hanya itu, keistimewaan keberagaman desa ini juga karena memiliki tester halal untuk setiap panganan saat kegiatan masyarakat dilaksanakan. Lalu bagaimana kisahnya? Berikut reportase keberagaman dari Desa Retok yang dihimpun Bella :

Berita Kubu Raya, PIFA - Jalanan berdebu, khas jalan perintis perkebunan kelapa sawit serta cuaca yang panas menjadi pemandangan kurang lebih tiga jam untuk sampai di Desa Retok, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Desa ini memang sulit dilalui dari Kota Pontianak. Jika hujan, jangan pernah berharap bisa tiba di Retok melalui jalur darat. Jalanan berlumpur tanah dan tanpa penerangan, membuat suramnya perjalanan. Alhasil, kapal motor air digunakan yang menyusuri sungai Kapuas. 

Namun, Desa Retok ternyata memiliki cerita keberagaman tersendiri. Desa yang mayoritas dihuni oleh dua suku dan agama yang berbeda yakni Dayak dan Madura ini, hidup berdampingan, saling membantu hingga melibatkan dalam setiap kegiatan. 

Satu di antara Tokoh Adat Dayak yang pernah menjabat sebagai Tumenggung Desa Retok, Baniel (66) membenarkan anggapan itu. 

Tiba di rumahnya, Baniel menyambut kami dengan ramah. Teh hangat tersaji. Sembari menyeruput manisnya teh hangat ini, Baniel pun mulai menceritakan hubungan interaksinya dengan saudaranya yang dari suku Madura. 

"Kami sejak dulu ngumpul, berteman, termasuk makanpun sama. Sama-sama makan singkong,” ujarnya mengawali cerita dengan tersenyum sembari mengenang masa kecilnya.

Ingatan masa kecil Baniel membawanya pada ingatan tentang Jonggan, yang merupakan salah satu kesenian tari dan musik tradisional suku Dayak Kanayatn yang cukup populer pada masanya. 

"Jaman dulu, kalau Jonggan main, Madura yang ngebeng (nyawer atau nari)," katanya sambil tertawa mengingat masa lalu.

Demi mendengar cerita Jonggan, Akui, Istri Pak Baniel yang awalnya hanya ikut mendengarkan sesaat setelah menyuguhkan minuman, Akui pun ikut terbawa masa lalu. Mereka berdua pun bersahutan bercerita, saat itu sekitar tahun 70an hingga tahun 80an, di malam-malam pesta, di bawah alunan berbagai alat musik tradisional yang mengiringi tarian para penari Jonggan, para penonton pun ikut menari.

Suasana begitu cair, semua tampak menikmati, tidak ada perbedaan baik suku, agama, atau latar belakang penonton. Semua yang hadir pada malam itu hanya memiliki satu tujuan, datang untuk menikmati hiburan.

Menurut Baniel, pada waktu itu, setiap hari besar seperti HUT Kemerdekaan, pesta panen padi hingga acara pernikahan selalu ada Jonggan digelar.

"Kalau dulu, orang Dayak bikin Jonggan ramai Madura nonton. Kalau Madura bikin Ronggeng,  ramai Dayak nonton," katanya.

Tak hanya Baniel. Kami pun merekam ingatan akan keberagaman melalui seni Jonggan dari, satu di antara warga Madura, Marhawi (60). Ia lahir dan besar di Retok. Rumahnya hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah Baniel. Sebagai Warga Retok, Marhawi akrab dengan lingkungan dan kesenian di Desa Retok termasuk Jonggan.

Para penari jonggan saat tampil menari di sebuah acara pernikahan/Dokumentasi: Deo

"Saat saya bujang dulu, saya sering sekali nonton kesenian Jonggan. Bahkan hampir setiap malam bila ada kesenian Jonggan yang diadakan oleh orang Dayak” ungkapnya.

Bagi Marhawi, menonton Jonggan menjadi pengalaman yang sangat seru dan menyenangkan, karena bisa bergaul dan berteman dengan orang Dayak.

"Bahkan saya juga bisa menggoda gadis Dayak" katanya sambil berkelakar dan tertawa puas mengenang masa mudanya.

Para penari jonggan di Retok foto bersama usai tampil diatas panggung/dokumentai: Deo

Menonton Jonggan, bagi Marhawi bukan hanya hiburan semata, namun juga untuk mengenal kesenian dan bahasa Dayak, khususnya Dayak Kanayatn yang ada di Retok.

"Saya menonton kesenian Jonggan itu untuk mengenal kesenian daerah orang Dayak yang ada di Desa Retok. Untuk belajar bahasa Dayak, sehingga sekarang ini saya fasih berbahas Dayak ahe dan juga untuk menambah teman orang Dayak dan mempererat persaudaraan dan pertemanan dengan orang Dayak," kata Marhawi.

Kami lantas meminta marhawi memberi contoh berbicara menggunakan bahasa Dayak Ahe. Benar saja, Marhawi berbicara dengan luwes dan lancar. Bahkan logat bahasa Madura yang kental nyaris tidak terdengar darinya saat berbicara menggunakan bahasa Dayak. 

Lahir dan besar di Desa Retok, Marhawi punya kenangan dan penilaian tersendiri ketika hidup berdampingan dengan warga suku Dayak.

"Bagi saya, berdampingan hidup dengan orang Dayak sangat menyenangkan karena mereka orangnya baik, ramah, sopan dan juga mau membantu bila kita ada masalah," ungkapnya.

"Hidup dengan orang Dayak itu tergantung dari diri kita juga, bila kita tidak macam-macam maka orang Dayak itu juga tidak akan macam-macam pada kita. Begitu pula sebaliknya. Bila kita baik, ramah dan santun, mereka akan lebih baik, ramah dan santun juga ke kita," lanjut Marhawi.

Namun, lain dulu, lain juga sekarang. Di tahun 90an, Jonggan yang sering menjadi media interaksi antar suku di Desa Retok sudah semakin jarang digelar, bahkan nyaris tidak pernah ada lagi pada saat ini.

Tetapi bukan berarti anak mudanya kehilangan ruang bersama untuk menjaga keberagaman dan persaudaraan di Desa Retok.

Bisa dibilang, Jonggan adalah ruang persaudaraan, sekaligus kenangan indah bagi generasi para orang tua di Retok. Sedang kini, bagi anak mudanya, permainan sepak bola adalah lapangan hijau untuk mereka memupuk persaudaraan dan keberagaman antar etnis dan agama.

Sepak bola pengganti Jonggan dan Ronggeng

Robertus Heriko (30), satu di antara pemain bola andalan di Retok mengaku punya ruang yang lebih untuk mengenal teman-teman dari suku maupun agama yang berbeda melalui Tim Sepak Bola Desa Retok.

"Lewat sepak bola, saya bisa lebih mengenal kawan-kawan dari segi karakter, tata krama dan bahasa mereka. Di mana saya yang beranggapan suku lain itu dulunya sombong, angkuh, pokoknya stigma tentang mereka negatif semua tetapi setelah saya mengenal mereka ternyata berbeda terbalik 180 derajat," ungkapnya.

Tim Sepak Bola Desa Retok memang memiliki anggota multi etnis. Tidak hanya beranggotakan pemuda Dayak, Tim Sepak Bola Retok juga memiliki anggota dengan etnis Madura, Tionghua, Melayu, dan lainnya.

Riko mengaku mempunyai kedekatan emosional dengan teman-temannya meski dari latar belakang etnis yang berbeda.

"Karena dari berbagai karakter, sifat dan ego kita harus mampu menyatukan demi visi dan misi kita dalam satu tim. Agar menjadi tim sepak bola yang solid dan saling bekerja sama demi tujuan yang sama dan mendapat chemistry agar tim kita kompak selalu di dalam lapangan," ungkap pria yang sudah memiliki hobi bermain sepak bola sejak SD itu.

Berkat bermain sepak bola, Riko juga jadi punya pengalaman berharga terkait keberagaman yang sulit dilupakannya. 

"Ini ceritanya waktu saya bermain bola di teluk batang Ketapang, di mana saya bermain bersama adik dan kawan saya orang Dayak untuk membantu orang sana yaitu orang Madura. Di mana kami dalam tim itu ada beberapa suku seperti Melayu, Madura dan Dayak. Saya sangat berkesan dengan bos saya yang orang Madura itu di mana kami sangat disambut seperti keluarga bahkan tinggal di rumahnya pun sudah dianggap rumah sendiri," kenangnya.

Bahkan sampai saat ini, menurut Riko dirinya masih menjalin komunikasi yang baik, walaupun sekadar bertanya kabar dan berkirim pesan melalui gawai. Baginya, hal itu menjadi pengalaman yang sangat berkesan dan sulit untuk dilupakan.

Sementara itu, Marsulin, pemain sepak bola Desa Retok, juga punya pengalaman serupa. Ketika Ia bermain sepak bola dan masuk tim dengan latar belakang suku dan budaya berbeda, Ia mengaku mendapatkan teman yang lebih beragam.

"Karena dari pengalaman bermain bola, saya lebih banyak temen dan kawan-kawan yang beda Agama atau Sukunya," terang Marsulin.

Lewat pertemuan menjadi pertemanan, Marsulin mengaku jadi lebih memahami, baik bahasa maupun karakter teman-teman yang berbeda.

"Saya lebih banyak mengerti bahasa mereka dan bagaimana cara beradaptasi dengan mereka dan saling menjaga perasaan satu sama lain," ungkapnya.

 

Retok Miliki Tester Makanan Halal

Helsiana (46), punya cerita berbeda tentang cara memupuk keberagaman yang ada di Desa Retok. Di sela kesibukannya sehari-hari menyadap karet dan berladang, dirinya sering diminta untuk memasak di acara hajatan.

Bukan sekadar memasak, Ia memiliki tanggung jawab serupa Lembaga MUI yang memberikan Sertifikat Halal untuk makanan dan kudapan yang disajikan saat ada hajatan. Ia diberikan tugas khusus untuk menyiapkan makanan halal bagi tamu muslim yang akan diundang di hajatan warga non-muslim di Desa Retok.

"Biasanya kalau ada yang syukuran, atau kawinan, kan yang datang tamunya macam-macam" terangnya.

Meskipun ia mengaku membantu dengan sukarela, namun tak jarang dirinya diberi tanda terima kasih.

"Biasanya dikasi duit, atau masakannya boleh dibawa pulang kalau ada lebih" ungkapnya.

Saat memasak, Helsiana tidak sendirian, Ia seringkali dibantu anak dan juga suaminya.

Menurutnya, hal itu bisa jadi kesempatan baginya untuk mengajari anak-anaknya banyak hal, mulai dari belajar memasak, hingga belajar menghargai sesama dan saling tolong menolong.

Sedangkan suaminya, biasanya membantu menyembelih hewan, agar hewan yang disajikan juga disembelih secara syariat islam sehingga aman untuk dikonsumsi saudara-saudara muslim yang datang di hajatan.

"Kan kalau untuk kita yang muslim biasanya kalau nyembelih ayam mesti bismilah dulu. Itu kalau menurut ajaran Islam" jelasnya.

Ia mengaku sangat senang bisa membantu sesama warga, karena hal itu dilakukannya dengan ikhlas.

"Senang saja bisa ikut membantu, dan saya niatnya ikhlas nolong sesama," katanya.

Apa yang dilakukan oleh Helsiana merupakan satu di antara perekat silaturahmi di Desa Retok, di mana warga non-muslim bisa menyajikan makanan yang halal sehingga warga muslim bisa merasa aman dan nyaman saat menghadiri undangan warga non-muslim di Desa Retok.

Salah satu perekat keberagaman etnis di Retok, khususnya di kalbar turut dipelihara oleh hadirnya berbagai organisasi masyarakat dengan latar belakang etnis yang beragam.

Di antaranya Ikatan Keluarga Besar Madura (IKAMA) yang menjadi satu di antara sekian banyak ormas yang turut memelihara keharmonisan dan kerukunan masyarakat di Kalbar.

Ketua Pelaksana Harian IKAMA Kalbar, M Soleh tak memungkiri jika kerukunan dan keharmonisan masyarakat di Kalbar cukup baik.

"Alhamdulillah ya, meskipun di Kalbar ini kita sukunya banyak, beragam tapi bisa hidup rukun dan harmonis" kata Sholeh.

IKAMA sendiri, menurut dia punya berbagai cara untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan antar etnis di Kalbar. Di antaranya dengan menjalin silaturahmi dan komunikasi yang baik antar pemuka dan tokoh-tokoh masyarakat.

"Kalau ada kegiatan budaya kita biasanya diundang. Misal ada gawai Dayak kita datang, begitu juga kalau kami punya kegiatan, mengundang saudara-saudara dari kelompok etnis lainnya, baik itu Dayak, Melayu, Cina dan lainnya" kata Sholeh.

Silaturahmi inilah, menurut Sholeh yang menjadi satu di antara perekat keberagaman etnis di Kalbar. Adanya ruang-ruang yang membuat saling bertemu, menjalin komunikasi hingga saling mengenal satu sama lainnya dan akhirnya menjadi keluarga.

Selain dalam kegiatan seni budaya, biasanya mereka juga memupuk keakraban dalam ruang-ruang yang lebih intim, yakni saling berkunjung.

"Apabila saudara-saudara DAD (Dewan Adat Dayak) merayakan Natal kita biasanya berkunjung, paling tidak kita memberikan ucapan selamat lewat pesan" ungkapnya.

Sholeh mengingatkan untuk bisa saling menjaga keharmonisan yang ada.

"Kepada kawan-kawan, khususnya etnis madura saya mengimbau untuk bisa saling mengingatkan, jangan mudah terprovokasi, jika ada masalah di lingkungannya segera komunikasikan dengan tokoh masyarakat, para tetua yang dipercaya," katanya.

Apalagi menjelang akhir tahun, menurutnya kita semua perlu waspada karena biasanya situasi jelang Natal dan Tahun Baru sering dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk membuat keributan.

"Apalagi akhir tahun seperti ini biasanya rawan, sering dibikin kekacauan oleh oknum-oknum. Kita harus waspada, saling menjaga keamanan" kata Sholeh mengingatkan.

Tak lupa ia juga mengajak semua tokoh masyarakat di Kalbar, untuk tetap saling menjaga silaturahmi, menjalin komunikasi yang baik agar bersama-sama bisa menjaga situasi yang kondusif, aman dan harmonis. (*)

 

*Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.

0

0

You can share on :

0 Komentar