Ormas sipil mempublikasi hasil investigasi sengkarut pembukaan lahan oleh PT Mayawana Persada. (Dok. Istimewa)

PIFA, Lokal - Walhi Kalimantan Barat secara resmi melaporkan PT Mayawana Persada ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kalimantan Barat dan Komnas Hak Asasi Manusia.

Pengaduan tersebut terkait dugaan pengrusakan ekologis hutan dan pelanggaran HAM yang terjadi di area konsensi Hutan Tanam Industri (HTI) di Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang. 

Pengaduan tersebut resmi disampaikan Walhi Kalbar ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalimantan Barat, pada 28 Desember 2023 lalu. 

Direktur Daerah Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, mengatakan laporan tersebut dilakukan karena kehadiran PT Mayawana Persada telah menyebabkan timbulnya konflik sosial dan melanggar hak-hak masyarakat di sekitar konsesi. 

Menurutnya, perusahaan juga secara nyata telah mengabaikan kenyataan bahwa tanah dan wilayah yang menjadi areal izin berusaha perusahaan merupakan wilayah tanah dan hutan yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat Dayak Kualan secara turun temurun sebagai tempat hidup dan sumber penghidupan. 

"Pengambilalihan tanah secara paksa yang disertai dengan tindakan seperti penghancuran tanaman pertanian, perkebunan, pondok-pondok ladang," katanya.

Pada saat bersamaan, kata Adam, juga diikuti dengan tindakan intimidasi, penangkapan bahkan pemenjaraan terhadap masyarakat serta upaya memecah belah masyarakat. 

Menurutnya, yang terjadi dan dialami oleh masyarakat di Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang adalah bukti kuat bahwa PT Mayawana Persada telah melakukan praktek nyata perampasan tanah dan wilayah adat milik masyarakat adat Dayak Kualan.

Dia mengungkapkan, PT Mayawana Persada dalam menjalankan operasional perusahaannya juga terbukti melanggar prinsip dan prosedur free, prior, and informed Consent (FPIC) sebagai sebuah mekanisme yang harus ditempuh.

"Masyarakat merasa tidak pernah memberikan persetujuan secara bebas dan memperoleh manfaat atas keberadaan perusahaan," katanya.

Adam menyatakan, klaim perusahaan yang telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai rencana kerja perusahaan, juga telah dilakukan perundingan dan mediasi yang berulang.

Kendati demikian, penolakan masyarakat adat Dayak Kualan terhadap keberadaan dan rencana kerja perusahaan terus terjadi. 

Tidak hanya itu, PT Mayawana Persada juga dalam merealisasikan rencana kerja perusahaannya terbukti secara kuat dan meyakinkan telah melakukan praktek-praktek penghancuran hutan alami. 

Termasuk pula dalam hal menjalankan bisnis hutan kaya biodervesitas seperti areal lahan gambut dan habitat orang utan. 

"Praktek bisnis PT Mayawana Persada ini sepenuhnya melanggar prinsip no deforestation, no peat, no exploitation," tegasnya.

Dia menyatakan, oleh karena itu secara keseluruhannya, PT Mayawana Persada sebagai sister company dan sejumlah anak usaha Alas Kusuma grup yang memiliki sertifikat FSC, yang merupakan sistem sertifikasi yang memberikan jaminan yang kredibel bahwa produk yang dijual dengan klaim FSC berasal dari hutan yang dikelola dengan baik. 

Dalam pernyataannya, Adam mengungkapkan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Walhi Kalbar, AMAN Kalbar, Lingkar Borneo dan Satya Bumi meminta kepada pemerintah dan perusahaan untuk, memberikan pengakuan terhadap hutan adat masyarakat Dayak Kualan Hilir. 

Kemudian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar melakukan studi terkini untuk menghitung jumlah individu orangutan di sekitar wilayah konsesi sebagai basis tindakan konservasi lanjutan. 

"Meminta Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meninjau ulang seluruh izin konsesi PT Mayawana Persada yang tumpang tindih dengan hutan adat dan wilayah konservasi tinggi," paparnya.

Koalisi masyarakat juga mendesak Kementerian ATR/BPN untuk meninjau ulang hak guna usaha PT Mayawana Persada. Pasalnya bertentangan dengan penjagaan kepentingan umum sebagaimana tertuang dalam pasal 34 Undang undang Pokok Agraria. 

"Meminta kepada Polri memerintahkan Polda Kalbar menghentikan segala bentuk intimidasi kepada masyarakat Adat Dayak Kualan Hilir," tegasnya.

Dia juga menyatakan, pihaknya meminta kepada perusahaan harus menghentikan dan meninjau ulang seluruh kegiatan bisnisnya di wilayah masyarakat adat dan kawasan hutan dengan konservasi tinggi. 

Perusahaan harus membuka high conservation value dan rencana tindak lanjut konservasi di wilayah konsesi mereka. 

"Kami meminta perusahaan untuk memulihkan seluruh kerusakan ekosistem yang terjadi termasuk menanam kembali Bukit Sabar Bubu dan perusahaan harus menghentikan intimidasi dan upaya kriminalisasi kepada masyarakat, memberikan ganti rugi yang sepadan atas kerusakan terhadap kebun masyarakat serta mengembalikan tanah masyarakat adat," tegas Adam. 

Terkait laporan ini, Seketaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kalimantan Barat, Amung Hidayat, membenarkan telah dilaksanakan pertemuan antara pihaknya dan Walhi Kalbar pada Kamis, 28 Desember 2023.

Dia menjelaskan, seperti diketahui bahwa 11 Desember 2023 Koalisi Masyarakat Sipil telah melakukan pemantauan terhadap kegiatan usaha oleh PT Mayawana Persada dengan menerbitkan Laporan Kerusakan Ekologi & Pelanggaran HAM : Ugal-Ugalan Ekspansi HTI di Kalimantan Barat”. 

Amung menerangkan, pihaknya meminta agar Walhi Kalbar segera menyampaikan data yang lebih detil terkait titik koordinat yang dilaporkan. Dan mengkonfirmasi terkait kebenaran data dan laporan tersebut kepada pihak PT Mayawana Persada. 

"Kami sudah  berkomunikasi dengan Walhi Kalbar untuk meminta data-data terkait laporan yang Walhi sampaikan, tetapi sampai dengan 30 Januari 2024 kami belum menerima data-data dimaksud," kata Amung. 

Amung menjelaskan, data–data yang diminta pihaknya itu diperlukan untuk mengecek apakah benar titik yang dilaporkan merupakan areal gambut dan masuk di dalam konsesi PT Mayawana Persada.

"Perihal adanya pemanggilan terhadap warga desa oleh pihak kepolisian, pihak Walhi belum dapat menyampaikan informasi lebih dalam dan berjanji akan segera menyampaikan informasi tersebut," ucap Amung. 

Amung menyatakan, jika terdapat indikasi pelanggaran oleh PT Mayawana Persada maka pihaknya akan segera melakukan koordinasi dan tindak lanjut kepada Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Semua laporan yang masuk akan ditindak lanjuti sesuai ketentuan dan sepanjang terpenuhi bukti-bukti yang konkret dan akurat. 

"Mengapresiasi laporan WALHI sebagai salah satu fungsi kontrol sosial pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan di Provinsi Kalbar," ujar Amung.

Sementara itu, pihak PT Mayawana Persada belum memberikan pernyataan terkait laporan Walhi ke DLH Kalbar ini.

PIFA, Lokal - Walhi Kalimantan Barat secara resmi melaporkan PT Mayawana Persada ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kalimantan Barat dan Komnas Hak Asasi Manusia.

Pengaduan tersebut terkait dugaan pengrusakan ekologis hutan dan pelanggaran HAM yang terjadi di area konsensi Hutan Tanam Industri (HTI) di Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang. 

Pengaduan tersebut resmi disampaikan Walhi Kalbar ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalimantan Barat, pada 28 Desember 2023 lalu. 

Direktur Daerah Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, mengatakan laporan tersebut dilakukan karena kehadiran PT Mayawana Persada telah menyebabkan timbulnya konflik sosial dan melanggar hak-hak masyarakat di sekitar konsesi. 

Menurutnya, perusahaan juga secara nyata telah mengabaikan kenyataan bahwa tanah dan wilayah yang menjadi areal izin berusaha perusahaan merupakan wilayah tanah dan hutan yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat Dayak Kualan secara turun temurun sebagai tempat hidup dan sumber penghidupan. 

"Pengambilalihan tanah secara paksa yang disertai dengan tindakan seperti penghancuran tanaman pertanian, perkebunan, pondok-pondok ladang," katanya.

Pada saat bersamaan, kata Adam, juga diikuti dengan tindakan intimidasi, penangkapan bahkan pemenjaraan terhadap masyarakat serta upaya memecah belah masyarakat. 

Menurutnya, yang terjadi dan dialami oleh masyarakat di Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang adalah bukti kuat bahwa PT Mayawana Persada telah melakukan praktek nyata perampasan tanah dan wilayah adat milik masyarakat adat Dayak Kualan.

Dia mengungkapkan, PT Mayawana Persada dalam menjalankan operasional perusahaannya juga terbukti melanggar prinsip dan prosedur free, prior, and informed Consent (FPIC) sebagai sebuah mekanisme yang harus ditempuh.

"Masyarakat merasa tidak pernah memberikan persetujuan secara bebas dan memperoleh manfaat atas keberadaan perusahaan," katanya.

Adam menyatakan, klaim perusahaan yang telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai rencana kerja perusahaan, juga telah dilakukan perundingan dan mediasi yang berulang.

Kendati demikian, penolakan masyarakat adat Dayak Kualan terhadap keberadaan dan rencana kerja perusahaan terus terjadi. 

Tidak hanya itu, PT Mayawana Persada juga dalam merealisasikan rencana kerja perusahaannya terbukti secara kuat dan meyakinkan telah melakukan praktek-praktek penghancuran hutan alami. 

Termasuk pula dalam hal menjalankan bisnis hutan kaya biodervesitas seperti areal lahan gambut dan habitat orang utan. 

"Praktek bisnis PT Mayawana Persada ini sepenuhnya melanggar prinsip no deforestation, no peat, no exploitation," tegasnya.

Dia menyatakan, oleh karena itu secara keseluruhannya, PT Mayawana Persada sebagai sister company dan sejumlah anak usaha Alas Kusuma grup yang memiliki sertifikat FSC, yang merupakan sistem sertifikasi yang memberikan jaminan yang kredibel bahwa produk yang dijual dengan klaim FSC berasal dari hutan yang dikelola dengan baik. 

Dalam pernyataannya, Adam mengungkapkan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Walhi Kalbar, AMAN Kalbar, Lingkar Borneo dan Satya Bumi meminta kepada pemerintah dan perusahaan untuk, memberikan pengakuan terhadap hutan adat masyarakat Dayak Kualan Hilir. 

Kemudian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar melakukan studi terkini untuk menghitung jumlah individu orangutan di sekitar wilayah konsesi sebagai basis tindakan konservasi lanjutan. 

"Meminta Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meninjau ulang seluruh izin konsesi PT Mayawana Persada yang tumpang tindih dengan hutan adat dan wilayah konservasi tinggi," paparnya.

Koalisi masyarakat juga mendesak Kementerian ATR/BPN untuk meninjau ulang hak guna usaha PT Mayawana Persada. Pasalnya bertentangan dengan penjagaan kepentingan umum sebagaimana tertuang dalam pasal 34 Undang undang Pokok Agraria. 

"Meminta kepada Polri memerintahkan Polda Kalbar menghentikan segala bentuk intimidasi kepada masyarakat Adat Dayak Kualan Hilir," tegasnya.

Dia juga menyatakan, pihaknya meminta kepada perusahaan harus menghentikan dan meninjau ulang seluruh kegiatan bisnisnya di wilayah masyarakat adat dan kawasan hutan dengan konservasi tinggi. 

Perusahaan harus membuka high conservation value dan rencana tindak lanjut konservasi di wilayah konsesi mereka. 

"Kami meminta perusahaan untuk memulihkan seluruh kerusakan ekosistem yang terjadi termasuk menanam kembali Bukit Sabar Bubu dan perusahaan harus menghentikan intimidasi dan upaya kriminalisasi kepada masyarakat, memberikan ganti rugi yang sepadan atas kerusakan terhadap kebun masyarakat serta mengembalikan tanah masyarakat adat," tegas Adam. 

Terkait laporan ini, Seketaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kalimantan Barat, Amung Hidayat, membenarkan telah dilaksanakan pertemuan antara pihaknya dan Walhi Kalbar pada Kamis, 28 Desember 2023.

Dia menjelaskan, seperti diketahui bahwa 11 Desember 2023 Koalisi Masyarakat Sipil telah melakukan pemantauan terhadap kegiatan usaha oleh PT Mayawana Persada dengan menerbitkan Laporan Kerusakan Ekologi & Pelanggaran HAM : Ugal-Ugalan Ekspansi HTI di Kalimantan Barat”. 

Amung menerangkan, pihaknya meminta agar Walhi Kalbar segera menyampaikan data yang lebih detil terkait titik koordinat yang dilaporkan. Dan mengkonfirmasi terkait kebenaran data dan laporan tersebut kepada pihak PT Mayawana Persada. 

"Kami sudah  berkomunikasi dengan Walhi Kalbar untuk meminta data-data terkait laporan yang Walhi sampaikan, tetapi sampai dengan 30 Januari 2024 kami belum menerima data-data dimaksud," kata Amung. 

Amung menjelaskan, data–data yang diminta pihaknya itu diperlukan untuk mengecek apakah benar titik yang dilaporkan merupakan areal gambut dan masuk di dalam konsesi PT Mayawana Persada.

"Perihal adanya pemanggilan terhadap warga desa oleh pihak kepolisian, pihak Walhi belum dapat menyampaikan informasi lebih dalam dan berjanji akan segera menyampaikan informasi tersebut," ucap Amung. 

Amung menyatakan, jika terdapat indikasi pelanggaran oleh PT Mayawana Persada maka pihaknya akan segera melakukan koordinasi dan tindak lanjut kepada Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Semua laporan yang masuk akan ditindak lanjuti sesuai ketentuan dan sepanjang terpenuhi bukti-bukti yang konkret dan akurat. 

"Mengapresiasi laporan WALHI sebagai salah satu fungsi kontrol sosial pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan di Provinsi Kalbar," ujar Amung.

Sementara itu, pihak PT Mayawana Persada belum memberikan pernyataan terkait laporan Walhi ke DLH Kalbar ini.

0

0

You can share on :

0 Komentar