Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, menyampaikan kecaman Indonesia terhadap aksi pembakaran Al Quran di Swedia. (Reuters)

PIFA, Internasional - Pemerintah Indonesia mengecam aksi pembakaran Al Quran di dunia, terkhusus di Swedia yang terjadi saat perayaan Idul Adha ini. 

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menegaskan bahwa tindakan tersebut tak bisa disamakan dengan kebebasan berekspresi. Justru, dia menilai pembakaran kitab suci umat Islam itu sikap Islamofobia.

"Aksi itu menunjukkan Islamofobia, kebencian terhadap Islam, agama yang damai. Jadi, berhenti menyalahgunakan kebebasan berekspresi," tegas Menlu Retno dalam keterangan video, Rabu (12/7) kemarin. 

Retno mengatakan pembakaran Al Quran adalah tindakan provokatif yang melukai umat Islam di seluruh dunia. Menurutnya, tindakan seperti ini tidak ada hubungannya dengan kebebasan berekspresi, seperti yang sering diklaim.

Retno mengacu pada Pasal 20 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang mengharuskan negara-negara untuk melarang penghasutan kebencian terhadap agama berdasarkan hukum.

ICCPR adalah perjanjian multilateral yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966. Perjanjian ini mengatur tentang hak asasi manusia dan kebebasan dasar.

Sejalan dengan itu, Retno mendesak komisi hak asasi manusia dan pemegang mandat lainnya untuk merespons tindakan ini dengan serius.

"Dalam hal ini, diam bukanlah emas, diam berarti keterlibatan, kebebasan berekspresi bukan berarti kebebasan untuk mendiskriminasi dan menyakiti orang lain," tambah Menlu Retno.

Pada 28 Juni yang lalu, Salwan Momika, seorang imigran dari Irak yang mengungsi ke Swedia, melakukan demonstrasi dengan membakar Al Quran di luar sebuah masjid di Stockholm.

Tindakan Momika ini menuai kecaman dari beberapa negara, termasuk Arab Saudi, Turki, dan Indonesia.

Pembakaran Al Quran oleh Momika bukan yang pertama kali terjadi di negara tersebut. Pada akhir Januari, politikus sayap kanan Swedia, Rasmus Paludan, juga melakukan tindakan serupa yang menuai kecaman dari negara-negara mayoritas Muslim.

Pada hari Selasa, tanggal 11 Juli, sejumlah negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengajukan resolusi kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB sebagai tanggapan terhadap pembakaran Al Quran ini.

Resolusi tersebut menyerukan agar negara-negara meninjau kembali undang-undang mereka dan mengisi celah hukum yang dapat "menghalangi upaya mencegah dan menindak tindakan dan penghasutan kebencian terhadap agama", seperti yang dilaporkan oleh Al Arabiya.

Dewan Hak Asasi Manusia PBB kemudian menyetujui resolusi tersebut pada hari Rabu, tanggal 12 Juli. Keputusan ini diambil setelah pemungutan suara yang mendapat dukungan dari 28 negara. Sebanyak 12 negara menentang resolusi tersebut, sementara tujuh negara lainnya abstain.

Beberapa negara yang menentang termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa. Kedua negara tersebut berpendapat bahwa resolusi ini bertentangan dengan pandangan mereka tentang hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi. (yd)

PIFA, Internasional - Pemerintah Indonesia mengecam aksi pembakaran Al Quran di dunia, terkhusus di Swedia yang terjadi saat perayaan Idul Adha ini. 

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menegaskan bahwa tindakan tersebut tak bisa disamakan dengan kebebasan berekspresi. Justru, dia menilai pembakaran kitab suci umat Islam itu sikap Islamofobia.

"Aksi itu menunjukkan Islamofobia, kebencian terhadap Islam, agama yang damai. Jadi, berhenti menyalahgunakan kebebasan berekspresi," tegas Menlu Retno dalam keterangan video, Rabu (12/7) kemarin. 

Retno mengatakan pembakaran Al Quran adalah tindakan provokatif yang melukai umat Islam di seluruh dunia. Menurutnya, tindakan seperti ini tidak ada hubungannya dengan kebebasan berekspresi, seperti yang sering diklaim.

Retno mengacu pada Pasal 20 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang mengharuskan negara-negara untuk melarang penghasutan kebencian terhadap agama berdasarkan hukum.

ICCPR adalah perjanjian multilateral yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966. Perjanjian ini mengatur tentang hak asasi manusia dan kebebasan dasar.

Sejalan dengan itu, Retno mendesak komisi hak asasi manusia dan pemegang mandat lainnya untuk merespons tindakan ini dengan serius.

"Dalam hal ini, diam bukanlah emas, diam berarti keterlibatan, kebebasan berekspresi bukan berarti kebebasan untuk mendiskriminasi dan menyakiti orang lain," tambah Menlu Retno.

Pada 28 Juni yang lalu, Salwan Momika, seorang imigran dari Irak yang mengungsi ke Swedia, melakukan demonstrasi dengan membakar Al Quran di luar sebuah masjid di Stockholm.

Tindakan Momika ini menuai kecaman dari beberapa negara, termasuk Arab Saudi, Turki, dan Indonesia.

Pembakaran Al Quran oleh Momika bukan yang pertama kali terjadi di negara tersebut. Pada akhir Januari, politikus sayap kanan Swedia, Rasmus Paludan, juga melakukan tindakan serupa yang menuai kecaman dari negara-negara mayoritas Muslim.

Pada hari Selasa, tanggal 11 Juli, sejumlah negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengajukan resolusi kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB sebagai tanggapan terhadap pembakaran Al Quran ini.

Resolusi tersebut menyerukan agar negara-negara meninjau kembali undang-undang mereka dan mengisi celah hukum yang dapat "menghalangi upaya mencegah dan menindak tindakan dan penghasutan kebencian terhadap agama", seperti yang dilaporkan oleh Al Arabiya.

Dewan Hak Asasi Manusia PBB kemudian menyetujui resolusi tersebut pada hari Rabu, tanggal 12 Juli. Keputusan ini diambil setelah pemungutan suara yang mendapat dukungan dari 28 negara. Sebanyak 12 negara menentang resolusi tersebut, sementara tujuh negara lainnya abstain.

Beberapa negara yang menentang termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa. Kedua negara tersebut berpendapat bahwa resolusi ini bertentangan dengan pandangan mereka tentang hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi. (yd)

0

0

You can share on :

0 Komentar