Industri Ekspor Jabar Tertekan Gempuran Tarif AS, Ekonom Desak Strategi Nasional yang Konkret
Nasional | Kamis, 22 Mei 2025
PIFA, Nasional – Gejolak ekonomi global yang ditandai dengan meningkatnya proteksionisme, terutama kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat, kembali menghantam sektor industri ekspor Indonesia.
Jawa Barat, sebagai pusat manufaktur dan ekspor nasional, menjadi salah satu wilayah yang paling terdampak. Hal ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk "Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk? Dialog Kritis Mencari Solusi" yang digelar oleh Suara.com bekerja sama dengan CORE Indonesia di El Hotel Bandung, Selasa (20/5).
Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono, dalam sambutannya menyatakan bahwa tekanan krisis global telah dirasakan sejak awal tahun. Ia menegaskan bahwa Bandung dipilih sebagai lokasi diskusi karena perannya yang strategis sebagai sentra ekspor nasional, khususnya untuk sektor tekstil, alas kaki, dan furnitur—semuanya kini berada dalam tekanan besar.
“Berdasarkan data BPS, pada Januari 2025 ekspor nonmigas Jawa Barat ke AS mencapai USD 499,53 juta atau 16,62% dari total ekspor nonmigas provinsi. Sementara dari Bandung, ekspor ke AS pada Maret 2025 mencapai USD 7,7 juta. Namun, penurunan pesanan dan gelombang PHK massal di sektor tekstil menunjukkan situasi yang tidak bisa dianggap enteng,” ungkap Suwarjono.
Gelombang PHK dan Ancaman Produk Impor
Bandung kini menghadapi krisis ketenagakerjaan akibat merosotnya pesanan ekspor dan masuknya produk impor dalam jumlah besar. Kebijakan tarif baru dari AS semakin memperburuk kondisi, membuat daya saing industri lokal makin menurun. Banyak perusahaan mengalami kerugian, bahkan tutup, sehingga memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, Ph.D., memaparkan bahwa Indonesia terkena imbas dari perang dagang AS-Tiongkok. “Ekspor Tiongkok ke AS menurun 10,5% tahun ini, tapi ekspor ke ASEAN naik 19,1%. Ada potensi arus barang masuk ke Indonesia, termasuk yang ilegal, yang berkontribusi pada kerugian negara sekitar Rp 65,4 triliun,” paparnya.
Dunia Usaha Hadapi Tekanan Berlapis
Ketua APINDO Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, menyoroti tantangan berlapis yang dihadapi pengusaha, mulai dari ketidakpastian regulasi hingga biaya logistik yang membengkak karena pungutan liar. Ia menilai bahwa pengusaha lokal kerap menjadi “korban eksperimen kebijakan”.
“Perizinan usaha yang dijanjikan rampung dua minggu bisa molor hingga berbulan-bulan. Kami juga menghadapi premanisme, pengupahan yang dipolitisasi, dan regulasi yang saling tumpang tindih. Dunia usaha butuh kepastian dan perlindungan yang adil,” tegas Ning.
Peluang di Tengah Krisis
Meski dihimpit tantangan, sejumlah peluang tetap muncul. Prof. Rina Indiastuti dari Universitas Padjadjaran menilai bahwa Jawa Barat memiliki basis manufaktur yang kuat dan beragam, mulai dari otomotif, elektronik, TPT, hingga farmasi dan agro-pangan.
“Kami mencatat adanya rencana relokasi pabrik otomotif ke Jabar. Ini momentum yang bisa dioptimalkan untuk mendorong pengembangan kapasitas inovasi, terutama jika dikoneksikan dengan universitas dan pusat riset,” jelas Prof. Rina.
Strategi Nasional: Impor Terkendali dan TKDN
Sebagai solusi, Mohammad Faisal menekankan pentingnya pengendalian impor secara selektif dan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). “Ini bukan soal proteksionisme, tapi menjaga kedaulatan pasar. Beberapa sektor seperti kosmetik, baja, dan semen menunjukkan hasil positif setelah penerapan verifikasi impor,” jelasnya.
Ia juga menyoroti suksesnya peningkatan produksi elektronik dalam negeri, yang naik dari 0,1 juta unit pada 2013 menjadi 88,8 juta unit pada 2019, sementara impor turun drastis. “Skema TKDN harus terus diterapkan sebagai insentif investasi dan pembangunan ekonomi jangka panjang,” tambahnya.
Menatap Masa Depan: Kedaulatan Ekonomi sebagai Keniscayaan
Diskusi ini menegaskan bahwa penguatan ekonomi domestik harus menjadi prioritas di tengah ketidakpastian global. Dukungan kebijakan dari pemerintah, keterlibatan aktif akademisi dan pelaku usaha, serta konsistensi regulasi menjadi fondasi penting dalam menjaga daya saing industri nasional.
“Di tengah ketidakpastian ekonomi global, penguatan ekonomi domestik bukan lagi pilihan tetapi keharusan,” tutup Faisal.
Dengan tekanan global yang terus meningkat, hasil dari dialog kritis ini diharapkan menjadi pijakan awal untuk merumuskan kebijakan strategis yang berpihak pada industri nasional, terutama di daerah industri utama seperti Jawa Barat.