Nakes di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Soedarso keluhkan penurunan TPP. (Dok. Istimewa)

PIFA, Lokal - Tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Soedarso, mengeluhkan penurunan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) sebesar 35 persen yang diberlakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalbar.

Ketua Lembaga Kajian Anak Negeri, Maman Suratman menyayangkan kebijakan yang diambil oleh Pj Gubernur Kalbar tersebut.

Menurut Maman, hal ini dapat memperburuk citra RSUD dr Soedarso, lantaran pemotongan ini bakal berdampak terhadap kinerja pegawai terutama nakes di RS itu.

"Kebijakan tersebut dikhawatirkan citra RSUD Soedarso yang sudah mulai bagus akan berdampak terhadap pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan," kata Maman, Jumat (23/2/2024).

Maman mengatakan, kebijakan pemotongan TPP itu mengabaikan keadilan bagi pegawai, terutama nakes dengan beban kerja yang cukup berat.

"Pemotongan TPP sebanyak 35 persen terhadap tenaga kesehatan sangat tidak adil," ujarnya.

Terlebih kata Maman, pemotongan TPP tidak terjadi di instansi atau Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya di Kalbar. Malah, beberapa diantaranya mengalami kenaikan berlipat.

"Pada instansi lain terdapat kenaikan terhadap TPP tesebut, hanya tenaga kesehatan yang tidak mengalami kenaikan tetapi justru mengalami penurunan," katanya.

Maman mengkhawatirkan  pemotongan TPP ini memicu efek domino dari kekecewaan para nakes. Hal itu, bakal memperburuk pelayanan terhadap masyarakat.

"Dikhawatirkan terjadi mogok kerja dan demo besar-besaran dari tenaga kesehatan yang akan berdampak langsung kepada pelayanan kesehatan," jelasnya.

Aturan pemotongan TPP ini, juga dipandang Maman sebagai kebijakan yang tebang pilih. Anggaran daerah yang merosot tak bisa dijadikan alasan untuk memotong TPP.

"Kebijakan ini tebang pilih. Pernyataan Pj Gubernur penyebab TPP nakes turun akibat anggaran daerah yang menurun terbantahkan dengan kenaikan TPP instansi lain," paparnya.

Di sisi lain, alasan penerimaan PPPK yang disebut mempengaruhi pemotongan TPP ini juga tak berdasar. Sebab, anggaran PPPK seharusnya disusun sebelum penerimaan tersebut.

"Mengimbau agar TPP tenaga kesehatan yang harus dinaikkan, karena tenaga kesehatan merupakan ujung tombak kesehatan, jangan ada tebang pilih," tandasnya.

Sementara itu, Pj Gubernur Kalbar Harisson menjelaskan, Pergub tentang TPP ini telah dibahas sebelum akhirnya diputuskan.

Pembahasan itu melibatkan Kepala OPD masing-masing, Direktur RSUD dan Tim TPP yang terdiri dari Sekda, Bappeda, BKAD, BKD, Biro Organisasi dan Biro Hukum.

"Sebelum diputuskan dalam bentuk Pergub terlebih dahulu dibahas. Setelah sepakat baru dimintakan persetujuan ke Dirjen Keuangan Kemendagri. Setelah mendapat persetujuan baru di Pergub kan," jelasnya.

Menurut Harisson yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kalbar itu, besaran TPP setiap tahun tidak akan sama.

"Bisa naik dan bisa turun, tergantung kondisi keuangan pemerintah daerah. Selain itu bergantung kelas jabatan, prestasi kerja, beban kerja dan lainnya," katanya.

Menyikapi kebijakan yang menimbulkan polemik tersebut, Harisson juga telah meminta sekretaris daerah, Tim TPP, Kepala OPD serta Direktur RSUD untuk berkonsultasi kembali ke Dirjen Keuangan.

"Saya sudah minta untuk konsultasi lagi ke Dirjen Keuangan Kemendagri menyangkut apa yang menjadi aspirasi dari pegawai ASN ini," pungkasnya. (ap)

PIFA, Lokal - Tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Soedarso, mengeluhkan penurunan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) sebesar 35 persen yang diberlakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalbar.

Ketua Lembaga Kajian Anak Negeri, Maman Suratman menyayangkan kebijakan yang diambil oleh Pj Gubernur Kalbar tersebut.

Menurut Maman, hal ini dapat memperburuk citra RSUD dr Soedarso, lantaran pemotongan ini bakal berdampak terhadap kinerja pegawai terutama nakes di RS itu.

"Kebijakan tersebut dikhawatirkan citra RSUD Soedarso yang sudah mulai bagus akan berdampak terhadap pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan," kata Maman, Jumat (23/2/2024).

Maman mengatakan, kebijakan pemotongan TPP itu mengabaikan keadilan bagi pegawai, terutama nakes dengan beban kerja yang cukup berat.

"Pemotongan TPP sebanyak 35 persen terhadap tenaga kesehatan sangat tidak adil," ujarnya.

Terlebih kata Maman, pemotongan TPP tidak terjadi di instansi atau Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya di Kalbar. Malah, beberapa diantaranya mengalami kenaikan berlipat.

"Pada instansi lain terdapat kenaikan terhadap TPP tesebut, hanya tenaga kesehatan yang tidak mengalami kenaikan tetapi justru mengalami penurunan," katanya.

Maman mengkhawatirkan  pemotongan TPP ini memicu efek domino dari kekecewaan para nakes. Hal itu, bakal memperburuk pelayanan terhadap masyarakat.

"Dikhawatirkan terjadi mogok kerja dan demo besar-besaran dari tenaga kesehatan yang akan berdampak langsung kepada pelayanan kesehatan," jelasnya.

Aturan pemotongan TPP ini, juga dipandang Maman sebagai kebijakan yang tebang pilih. Anggaran daerah yang merosot tak bisa dijadikan alasan untuk memotong TPP.

"Kebijakan ini tebang pilih. Pernyataan Pj Gubernur penyebab TPP nakes turun akibat anggaran daerah yang menurun terbantahkan dengan kenaikan TPP instansi lain," paparnya.

Di sisi lain, alasan penerimaan PPPK yang disebut mempengaruhi pemotongan TPP ini juga tak berdasar. Sebab, anggaran PPPK seharusnya disusun sebelum penerimaan tersebut.

"Mengimbau agar TPP tenaga kesehatan yang harus dinaikkan, karena tenaga kesehatan merupakan ujung tombak kesehatan, jangan ada tebang pilih," tandasnya.

Sementara itu, Pj Gubernur Kalbar Harisson menjelaskan, Pergub tentang TPP ini telah dibahas sebelum akhirnya diputuskan.

Pembahasan itu melibatkan Kepala OPD masing-masing, Direktur RSUD dan Tim TPP yang terdiri dari Sekda, Bappeda, BKAD, BKD, Biro Organisasi dan Biro Hukum.

"Sebelum diputuskan dalam bentuk Pergub terlebih dahulu dibahas. Setelah sepakat baru dimintakan persetujuan ke Dirjen Keuangan Kemendagri. Setelah mendapat persetujuan baru di Pergub kan," jelasnya.

Menurut Harisson yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kalbar itu, besaran TPP setiap tahun tidak akan sama.

"Bisa naik dan bisa turun, tergantung kondisi keuangan pemerintah daerah. Selain itu bergantung kelas jabatan, prestasi kerja, beban kerja dan lainnya," katanya.

Menyikapi kebijakan yang menimbulkan polemik tersebut, Harisson juga telah meminta sekretaris daerah, Tim TPP, Kepala OPD serta Direktur RSUD untuk berkonsultasi kembali ke Dirjen Keuangan.

"Saya sudah minta untuk konsultasi lagi ke Dirjen Keuangan Kemendagri menyangkut apa yang menjadi aspirasi dari pegawai ASN ini," pungkasnya. (ap)

0

0

You can share on :

0 Komentar