PIFA.CO.ID, POLITIK - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap modus blending yang digunakan para tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023. Akibat praktik ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp193,7 triliun.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa modus blending dilakukan dengan mencampur bahan bakar minyak (BBM) berkualitas lebih rendah dengan BBM berkualitas lebih tinggi untuk dijual dengan harga premium.
“Hasil penyidikan adalah RON 90 atau yang di bawahnya itu, tadi fakta yang ada di transaksi RON 88 di-blending dengan RON 92 dan dipasarkan seharga RON 92,” ujar Qohar dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (27/2).
Modus Blending dan Pengurangan Produksi
Dalam pengungkapan awal pada Senin (24/2), Kejagung menemukan bahwa para tersangka sengaja menurunkan produksi kilang dalam negeri dan menolak minyak mentah dari KKKS. Akibatnya, PT Kilang Pertamina Internasional dan PT Pertamina Patra Niaga harus mengimpor minyak mentah dan produk kilang dengan harga lebih tinggi dibandingkan produksi dalam negeri.
Tersangka Riva Siahaan (RS), Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, diduga melakukan pembayaran untuk RON 92, padahal yang dibeli sebenarnya adalah RON 90 atau lebih rendah. Produk tersebut kemudian di-blending di storage atau depo untuk dijadikan RON 92, yang seharusnya tidak diperbolehkan dalam prosedur pengadaan.
Pengungkapan Tersangka Baru
Pada Rabu (26/2), Kejagung menetapkan dua tersangka baru, yakni Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga. Keduanya, dengan persetujuan Riva Siahaan, melakukan pembelian RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92, sehingga mengakibatkan pembayaran impor dengan harga tinggi yang tidak sesuai dengan kualitas barang.
Qohar mengungkapkan bahwa Maya Kusmaya memerintahkan Edward Corne untuk melakukan blending RON 88 (premium) dengan RON 92 (pertamax) agar menghasilkan RON 92 di terminal atau storage PT Orbit Terminal Merak. Terminal ini dimiliki oleh tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, serta Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
“Hasil blending ini kemudian dijual seharga BBM RON 92. Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core bisnis PT Pertamina Patra Niaga,” tambah Qohar.
Sembilan Tersangka dan Kerugian Negara
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka, yakni:
- Riva Siahaan (RS) - Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
- Sani Dinar Saifuddin (SDS) - Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
- Yoki Firnandi (YF) - Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
- Agus Purwono (AP) - VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
- Maya Kusmaya (MK) - Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga
- Edward Corne (EC) - VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga
- Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) - Beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa
- Dimas Werhaspati (DW) - Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim
- Gading Ramadhan Joedo (GRJ) - Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
Kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp193,7 triliun, yang bersumber dari lima komponen utama:
- Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri: Rp35 triliun
- Kerugian impor minyak mentah melalui broker: Rp2,7 triliun
- Kerugian impor BBM melalui broker: Rp9 triliun
- Kerugian pemberian kompensasi tahun 2023: Rp126 triliun
- Kerugian pemberian subsidi tahun 2023: Rp21 triliun
Kejagung terus mendalami kasus ini untuk mengungkap lebih lanjut pihak-pihak yang terlibat serta aliran dana hasil kejahatan tersebut. Proses hukum terhadap para tersangka diharapkan dapat memberikan efek jera dan memperbaiki tata kelola energi di Indonesia.