PIFA.CO.ID, POLITIK - Komisi III DPR RI terus menggodok pembahasan draf Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang mengatur mekanisme acara pidana, mulai dari proses penyidikan hingga keadilan restoratif. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama perwakilan advokat dan masyarakat sipil di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (24/3), sejumlah poin penting dari draf RUU tersebut dibahas.
1. Penghinaan Presiden Bisa Diselesaikan Lewat Restorative Justice
Salah satu poin krusial yang dibahas adalah terkait tindak pidana penghinaan terhadap presiden. Awalnya, dalam draf RUU KUHAP, penghinaan presiden tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice/RJ). Namun, Komisi III DPR RI merevisi ketentuan tersebut.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menjelaskan bahwa sebelumnya terjadi kesalahan redaksional dalam draf yang dipublikasikan. Kekeliruan itu menyebabkan pasal penghinaan presiden masuk dalam daftar pengecualian RJ. Kini, revisi tersebut memungkinkan tindak pidana penghinaan presiden diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.
"Ada kesalahan redaksi dari draft yang kami publikasikan, di mana seharusnya Pasal 77 tidak mencantumkan pasal penghinaan presiden dalam KUHP sebagai pasal yang dikecualikan untuk dapat diselesaikan dengan RJ," ujar Habiburokhman dalam keterangannya, Senin (24/3).
Selain itu, Komisi III juga menghapus dua tindak pidana lainnya dari daftar pengecualian RJ, yakni:
- Tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus.
- Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.
2. Siaran Langsung Sidang Tanpa Izin Bisa Dipidana
Draf RUU KUHAP juga memuat ketentuan baru terkait tata tertib persidangan. Dalam Pasal 253 ayat (3), ditekankan bahwa setiap orang yang berada di persidangan dilarang menyiarkan proses sidang secara langsung tanpa izin pengadilan.
"Setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan," bunyi pasal tersebut.
Sementara itu, Pasal 253 ayat (4) menegaskan sanksi bagi pelanggar. Apabila siaran langsung tetap dilakukan tanpa izin, pelaku dapat diproses secara pidana.
"Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan tindak pidana yang ditentukan dalam suatu undang-undang, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan undang-undang tersebut," demikian isi pasal tersebut.
3. Pemeriksaan Tersangka Tak Wajib Direkam CCTV
RUU KUHAP juga mengatur tata cara penyidikan, termasuk penggunaan kamera pengawas (CCTV) dalam pemeriksaan tersangka. Dalam Pasal 31 ayat (2), draf RUU menyebutkan bahwa pemeriksaan tersangka dapat direkam, namun tidak ada klausul yang mewajibkan penggunaan CCTV.
"Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama pemeriksaan berlangsung," bunyi pasal tersebut.
Ketentuan ini menuai sorotan dari sejumlah pihak yang menilai rekaman CCTV seharusnya diwajibkan demi menghindari potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama pemeriksaan.
4. Advokat Tak Bisa Dituntut Pidana Saat Membela Klien
Komisi III DPR RI juga menyetujui ketentuan yang melindungi advokat dari tuntutan pidana maupun perdata saat menjalankan tugas membela klien. Dalam Pasal 140 ayat (2) draf RUU KUHAP, disebutkan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selama melaksanakan tugasnya secara itikad baik.
"Advokat tidak bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien, baik di dalam maupun di luar pengadilan," bunyi pasal tersebut.
Ketentuan ini diadopsi dari usulan Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia-Suara Advokat Indonesia (PERADI-SAI), Juniver Girsang, dalam RDPU. Ia menilai perlindungan hukum bagi advokat penting untuk menjamin kebebasan profesi dalam membela hak-hak klien.