Peserta The 4th (Hybrid) International Conference on Indigenous Religions (ICIR) and CSO Consolidation, di Universitas Panca Bhakti Pontianak, Senin (28/11/2022). (Foto: Dian Lestari/Panitia ICIR)

Berita Lokal, PIFA - The 4th (Hybrid) International Conference on Indigenous Religions (ICIR) and CSO Consolidation digelar di Pontianak, pada 28-30 November. Kegiatan ini diikuti ratusan akademisi, mahasiswa, aktivis, masyarakat sipil dari berbagai daerah di Indonesia. 

Pembukaan acara digelar di Universitas Panca Bhakti Pontianak (UPB), Jalan Komodor Yos Sudarso. Pada 29 November acara dilaksanakan di IAIN Pontianak. Sedangkan pada 30 November di Hotel Neo, Jalan Gajahmada. 

“Selamat datang kepada seluruh peserta. Di kampus UPB, kami berupaya menerapkan prinsip pluralis, humanis, dan nasionalis,” kata Rektor Universitas Panca Bhakti Pontianak, Dr Purwanto MHum, Senin (28/11/2022). 

Tema ICIR kali ini adalah “Demokrasi Inklusif: Kesetaraan dan Keadilan untuk Semua”. Diskusi-diskusi yang digelar selama 3 hari, difokuskan kepada pembahasan tentang demokrasi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Diskusi digelar secara terpusat dan paralel dalam beberapa sesi. 

Sesi pertama diskusi diampu oleh Zainal Bagir dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gajahmada Yogyakarta. Pembicara yang hadir antara lain Sandra Hamid dari The Asia Foundation, Apai Janggot yang merupakan Ketua Masyarakat Adat Dayak Iban di Sungai Utik, bersama Raymundus Remang Kepala Desa Batu Lintang Kabupaten Kapuas Hulu. Juga Dewi Candraningrum dari Universitas Muhammadiyah Surakarta.    

“Pada masa Orde Baru, agama leluhur di Sungai Utik tidak diakui. Padahal agama leluhur sudah ada sejak awal muncul bangsa Iban,” kata Raymundus Remang. 

Dia menggarisbawahi bahwa agama leluhur terbukti mampu menjaga kelestarian hidup.

Ironisnya menurut Raymundus, masyarakat Sungai Utik dipaksa memilih satu di antara lima agama yang diakui pemerintah di masa Orde Baru. Kalau tidak, maka mereka tidak memiliki KTP, dan anak-anak tidak bisa bersekolah. 

“Kami didiskriminasi oleh pemerintah, dalam hal agama dan pendidikan,” tuturnya. 

Dampak tindak dikriminasi oleh pemerintah terhadap masyarakat Sungai Utik bakal terus dirasakan hingga generasi mendatang. 

“Generasi muda yang lahir di zaman ‘agama’ ini, tidak akan paham tentang agama leluhur. Tantangannya apakah mereka mampu bertahan menghadapi modernisasi, globalisasi, dan digitalisasi,” ujar Raymundus. 

Dia meminta agar pihak-pihak terkait mendorong dan membantu masyarakat Sungai Utik, agar tidak didiskriminasi agama dan pendidikannya. Masyarakat Sungai Utik berupaya terus merawat tradisi leluhur dan menjaga lingkungan hidup. Mereka menolak budidaya kelapa sawit yang berdampak buruk terhadap keseimbangan ekosistem. (ap)

Berita Lokal, PIFA - The 4th (Hybrid) International Conference on Indigenous Religions (ICIR) and CSO Consolidation digelar di Pontianak, pada 28-30 November. Kegiatan ini diikuti ratusan akademisi, mahasiswa, aktivis, masyarakat sipil dari berbagai daerah di Indonesia. 

Pembukaan acara digelar di Universitas Panca Bhakti Pontianak (UPB), Jalan Komodor Yos Sudarso. Pada 29 November acara dilaksanakan di IAIN Pontianak. Sedangkan pada 30 November di Hotel Neo, Jalan Gajahmada. 

“Selamat datang kepada seluruh peserta. Di kampus UPB, kami berupaya menerapkan prinsip pluralis, humanis, dan nasionalis,” kata Rektor Universitas Panca Bhakti Pontianak, Dr Purwanto MHum, Senin (28/11/2022). 

Tema ICIR kali ini adalah “Demokrasi Inklusif: Kesetaraan dan Keadilan untuk Semua”. Diskusi-diskusi yang digelar selama 3 hari, difokuskan kepada pembahasan tentang demokrasi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Diskusi digelar secara terpusat dan paralel dalam beberapa sesi. 

Sesi pertama diskusi diampu oleh Zainal Bagir dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gajahmada Yogyakarta. Pembicara yang hadir antara lain Sandra Hamid dari The Asia Foundation, Apai Janggot yang merupakan Ketua Masyarakat Adat Dayak Iban di Sungai Utik, bersama Raymundus Remang Kepala Desa Batu Lintang Kabupaten Kapuas Hulu. Juga Dewi Candraningrum dari Universitas Muhammadiyah Surakarta.    

“Pada masa Orde Baru, agama leluhur di Sungai Utik tidak diakui. Padahal agama leluhur sudah ada sejak awal muncul bangsa Iban,” kata Raymundus Remang. 

Dia menggarisbawahi bahwa agama leluhur terbukti mampu menjaga kelestarian hidup.

Ironisnya menurut Raymundus, masyarakat Sungai Utik dipaksa memilih satu di antara lima agama yang diakui pemerintah di masa Orde Baru. Kalau tidak, maka mereka tidak memiliki KTP, dan anak-anak tidak bisa bersekolah. 

“Kami didiskriminasi oleh pemerintah, dalam hal agama dan pendidikan,” tuturnya. 

Dampak tindak dikriminasi oleh pemerintah terhadap masyarakat Sungai Utik bakal terus dirasakan hingga generasi mendatang. 

“Generasi muda yang lahir di zaman ‘agama’ ini, tidak akan paham tentang agama leluhur. Tantangannya apakah mereka mampu bertahan menghadapi modernisasi, globalisasi, dan digitalisasi,” ujar Raymundus. 

Dia meminta agar pihak-pihak terkait mendorong dan membantu masyarakat Sungai Utik, agar tidak didiskriminasi agama dan pendidikannya. Masyarakat Sungai Utik berupaya terus merawat tradisi leluhur dan menjaga lingkungan hidup. Mereka menolak budidaya kelapa sawit yang berdampak buruk terhadap keseimbangan ekosistem. (ap)

0

0

You can share on :

0 Komentar