PIFA.CO.ID, INTERNASIONAL - Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Gaza, Munir al-Barsh, menyatakan bahwa Israel telah menahan lebih dari 360 tenaga kesehatan di Jalur Gaza, sementara hanya 20 dari 38 rumah sakit yang masih bisa beroperasi secara terbatas. Pernyataan ini disampaikan dalam wawancaranya dengan Al Jazeera pada Selasa (29/4).

“Kami kehilangan lebih banyak orang akibat konsekuensi tidak langsung dari perang dibandingkan mereka yang terbunuh akibat pendudukan,” ujar al-Barsh, menyoroti krisis kemanusiaan yang kian memburuk di wilayah tersebut.

Menurutnya, kelompok yang paling terdampak dari situasi ini adalah anak-anak dan perempuan hamil. Lebih dari 40.000 anak di Gaza telah menjadi yatim piatu, dan 100 anak dilaporkan meninggal dunia saat menunggu pintu penyeberangan dibuka agar mereka dapat menerima pertolongan medis atau evakuasi.

Selain itu, hampir satu juta anak-anak di Gaza kehilangan akses terhadap bantuan yang selama ini menyelamatkan nyawa mereka, termasuk makanan, air bersih, dan layanan kesehatan dasar.

Kondisi ini semakin parah sejak Israel kembali melancarkan serangan ke wilayah Gaza pada 18 Maret 2025, dengan alasan penolakan Hamas terhadap rencana gencatan senjata yang diusulkan oleh Amerika Serikat. Gencatan senjata sebelumnya telah berakhir pada 1 Maret.

Sebagai bagian dari serangan tersebut, Israel disebut memutus pasokan listrik ke fasilitas penting, termasuk pabrik desalinasi yang menjadi sumber utama air bersih bagi warga Gaza. Selain itu, jalur masuk truk-truk bantuan kemanusiaan juga ditutup, memperburuk krisis logistik dan akses terhadap kebutuhan dasar.

Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) sebelumnya telah memperingatkan bahwa penjarahan terhadap bantuan kemanusiaan meningkat tajam di Gaza. Hal ini disebabkan oleh kelangkaan ekstrem makanan dan barang-barang penting akibat operasi militer yang terus berlangsung serta blokade ketat yang diberlakukan Israel.

Situasi ini menambah tekanan terhadap sistem kesehatan Gaza yang sudah hampir kolaps. Rumah sakit yang masih beroperasi menghadapi kekurangan tenaga medis, peralatan, dan obat-obatan, serta risiko serangan militer di tengah upaya mereka menyelamatkan nyawa.

Komunitas internasional telah menyerukan penghentian kekerasan dan pembukaan akses kemanusiaan tanpa hambatan, namun hingga kini, respons konkret dari pihak yang bertikai maupun negara-negara berpengaruh di kancah global belum menunjukkan hasil signifikan.