Media asing menyoroti pergeseran demokrasi era Presiden Jokowi yang menuai kontroversi. (Era.id)

PIFA, Politik - Pada tahun 2014, ketika Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi dilantik sebagai Presiden ketujuh Indonesia, negara ini memandang masa depan demokrasi dengan penuh optimisme. Namun, hampir sepuluh tahun setelahnya, masa pemerintahan Jokowi mencatatkan kecenderungan yang mengkhawatirkan menuju penurunan demokrasi.

Salah satu inisiatif utamanya, pembangunan ibu kota baru bernama Nusantara di Pulau Kalimantan, menuai kritik dan keraguan, dikhawatirkan akan mencerminkan kemunduran demokrasi Indonesia.

Sejak diumumkan pada tahun 2019, proyek ambisius ini telah menghadapi keraguan dari berbagai pihak. Kritik mencakup konsultasi publik yang tidak memadai, sengketa lahan dengan masyarakat adat, dan kekhawatiran tentang pengaruh Tiongkok yang membuat Nusantara disebut sebagai "Beijing Baru." 

Namun, yang lebih mencemaskan adalah sifat tidak demokratis dari ibu kota baru ini. Terletak jauh dari Jakarta, Nusantara akan beroperasi tanpa pemimpin daerah terpilih, menonjolkan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia menjadi pemandangan yang tidak demokratis.

Meskipun Jakarta saat ini adalah pusat aktivitas ekonomi di Asia Tenggara, ia semakin terbebani oleh kemacetan, banjir, dan polusi. Nusantara di Kalimantan Timur diusulkan sebagai solusi atas masalah-masalah ini.

Namun, banyak kalangan menganggap proyek ini sebagai pelarian dari kegagalan pemerintah Jakarta dalam menanggulangi masalah kota. Proyek ini juga memicu kekhawatiran karena akan menjauhkan pusat pemerintahan dari partisipasi dan protes masyarakat, yang selama ini menjadi bagian penting dari politik Indonesia.

Dalam pengamatan yang kami kutip dari media internasional Time pada hari ini, (19/10), kepemimpinan otoriter juga semakin terlihat di bawah pemerintahan Jokowi.

Sensor online yang meningkat dan tindakan keras terhadap kritikus, bersamaan dengan perubahan legislatif yang membatasi kebebasan berekspresi, menimbulkan pertanyaan tentang masa depan demokrasi Indonesia. Jokowi juga terlibat dalam pembentukan dinasti politiknya sendiri, dengan mengangkat anggota keluarganya ke posisi-posisi kunci dalam pemerintahan, menggambarkan arah yang semakin otoriter dalam politik Indonesia.

Sementara tingkat persetujuan Jokowi tetap tinggi, sebagian besar publik mulai meragukan arah yang diambil oleh negara ini. Nusantara, proyek ibu kota baru yang mencerminkan kemunduran demokrasi, memunculkan pertanyaan serius tentang masa depan politik Indonesia.

Apakah negara ini akan terus menuju arah otoritarianisme atau apakah demokrasi akan kembali memimpin jalan di Indonesia? Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan tersebut, tetapi kekhawatiran mengenai masa depan demokrasi Indonesia terus menggelayuti masyarakat. (hs)

PIFA, Politik - Pada tahun 2014, ketika Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi dilantik sebagai Presiden ketujuh Indonesia, negara ini memandang masa depan demokrasi dengan penuh optimisme. Namun, hampir sepuluh tahun setelahnya, masa pemerintahan Jokowi mencatatkan kecenderungan yang mengkhawatirkan menuju penurunan demokrasi.

Salah satu inisiatif utamanya, pembangunan ibu kota baru bernama Nusantara di Pulau Kalimantan, menuai kritik dan keraguan, dikhawatirkan akan mencerminkan kemunduran demokrasi Indonesia.

Sejak diumumkan pada tahun 2019, proyek ambisius ini telah menghadapi keraguan dari berbagai pihak. Kritik mencakup konsultasi publik yang tidak memadai, sengketa lahan dengan masyarakat adat, dan kekhawatiran tentang pengaruh Tiongkok yang membuat Nusantara disebut sebagai "Beijing Baru." 

Namun, yang lebih mencemaskan adalah sifat tidak demokratis dari ibu kota baru ini. Terletak jauh dari Jakarta, Nusantara akan beroperasi tanpa pemimpin daerah terpilih, menonjolkan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia menjadi pemandangan yang tidak demokratis.

Meskipun Jakarta saat ini adalah pusat aktivitas ekonomi di Asia Tenggara, ia semakin terbebani oleh kemacetan, banjir, dan polusi. Nusantara di Kalimantan Timur diusulkan sebagai solusi atas masalah-masalah ini.

Namun, banyak kalangan menganggap proyek ini sebagai pelarian dari kegagalan pemerintah Jakarta dalam menanggulangi masalah kota. Proyek ini juga memicu kekhawatiran karena akan menjauhkan pusat pemerintahan dari partisipasi dan protes masyarakat, yang selama ini menjadi bagian penting dari politik Indonesia.

Dalam pengamatan yang kami kutip dari media internasional Time pada hari ini, (19/10), kepemimpinan otoriter juga semakin terlihat di bawah pemerintahan Jokowi.

Sensor online yang meningkat dan tindakan keras terhadap kritikus, bersamaan dengan perubahan legislatif yang membatasi kebebasan berekspresi, menimbulkan pertanyaan tentang masa depan demokrasi Indonesia. Jokowi juga terlibat dalam pembentukan dinasti politiknya sendiri, dengan mengangkat anggota keluarganya ke posisi-posisi kunci dalam pemerintahan, menggambarkan arah yang semakin otoriter dalam politik Indonesia.

Sementara tingkat persetujuan Jokowi tetap tinggi, sebagian besar publik mulai meragukan arah yang diambil oleh negara ini. Nusantara, proyek ibu kota baru yang mencerminkan kemunduran demokrasi, memunculkan pertanyaan serius tentang masa depan politik Indonesia.

Apakah negara ini akan terus menuju arah otoritarianisme atau apakah demokrasi akan kembali memimpin jalan di Indonesia? Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan tersebut, tetapi kekhawatiran mengenai masa depan demokrasi Indonesia terus menggelayuti masyarakat. (hs)

0

0

You can share on :

0 Komentar