Ami Sahid dan kaset pitanya. Foto: Istimewa

Berita Lokal, PIFA – Irama musik terdengar redam tapi begitu khas, melantun dari sudut ruko di Pasar Tengah, Jalan Tanjungpura, Kota Pontianak. Suaranya begitu familiar di telinga. Mendengar notasi-notasinya, serasa pergi menjelajahi kenangan masa lalu.

Di tempat ini, ribuan kaset pita dipajang untuk dijual. Kaset pita yang menemani hari-hari mulai dari era 70’-an, sampai awal milenium 2000. Kini sudah jadi barang jadul. Meski tak langka dan masih bisa ditemukan, tapi punya kesan yang antik.

Adalah Ami Sahid yang merawat sisa-sisa memori karya musik, dan eskpresi musisi tempo dulu tersebut. Digitalisasi tak bikin nyalinya ciut, atau mundur selangkah pun. Sejak 30 tahun lalu, dia masih eksis jualan kaset pita sampai sekarang.

"Berjualan sudah sejak 30 tahun yang lalu. Awalnya barang-barang kuno, saya coba juga jualan kaset-kaset pita ternyata banyak peminatnya," katanya ditemui belum lama ini.

Lemari-lemari di lapak punya Ami Sahid ini, terpampang ribuan kaset pita. Dari berbagai genre. Tembang pop tempo dulu, rock and roll bahkan dangdut sekalipun dia jual. Medium perekaman musik tempo dulu ini masih punya pamor.

Bagi generasi 70, 80 dan 90-an, kaset pita tak cuma cerita soal frekuensi suara. Namun juga menuntun ingatan tentang memori lampau. Misalnya saja mengingat hal konyol, menggulung pita kusut secara manual dengan jari atau pulpen. 

Kemudian memasukan kaset ke tape recorder, lalu me-rewind atau mem-forward dan mem-play dengan menekan tombol fisik berlogo masing-masing. Suara perputaran kaset akan terdengar sayup dari balik kotak player kaset tersebut. Masa-masa itu tentu masih membekas di kepala. 

“Kaset dari 80-an, 70an. Harganya mulai Rp10 ribu. Koleksi album didominasi Indonesia tahun 1970-an. Namun, banyak yang memburu kaset barat. Album Indo misalnya Koes Plus, A Rafiq, Rhoma Irama dan orkes Melayu. Kalau lagu barat ada juga, biasa anak muda untuk jadi koleksi,” ceritanya.

Meski dikepung teknologi, Ami Sahid punya keyakinan kaset pita tetap jadi permata di tengah industri musik tanah air. Levelnya bakal menyamai piringan hitam. Klasik, otentik dan tentu saja bernilai. Sebuah harta dari waktu silam.
  
"Saya juga membeli kalau ada yang jual ke sini. Biasa yang bawa dari kampung, meski sekarang saya percaya tetap ada pangsa pasarnya. Biasa ada yang cari lagu-lagu lama sampai sekarang. Masih ada lah yang simpan tape, sampai sekarang masih ada yang beli, meski tak seramai dulu,” katanya.

Ribuan kaset pita yang dijual Ami Sahid tersebut, masih dalam kondisi sangat baik dan dapat diputar. Menjual kaset pita baginya sama dengan menjaga warisan karya seni. 

"Untuk kondisi kaset masih bagus, suaranya juga original, ada lagu dangdut, orkes melayu, banyak lagi saya juga gak hafal,” pungkasnya. (anp)

Berita Lokal, PIFA – Irama musik terdengar redam tapi begitu khas, melantun dari sudut ruko di Pasar Tengah, Jalan Tanjungpura, Kota Pontianak. Suaranya begitu familiar di telinga. Mendengar notasi-notasinya, serasa pergi menjelajahi kenangan masa lalu.

Di tempat ini, ribuan kaset pita dipajang untuk dijual. Kaset pita yang menemani hari-hari mulai dari era 70’-an, sampai awal milenium 2000. Kini sudah jadi barang jadul. Meski tak langka dan masih bisa ditemukan, tapi punya kesan yang antik.

Adalah Ami Sahid yang merawat sisa-sisa memori karya musik, dan eskpresi musisi tempo dulu tersebut. Digitalisasi tak bikin nyalinya ciut, atau mundur selangkah pun. Sejak 30 tahun lalu, dia masih eksis jualan kaset pita sampai sekarang.

"Berjualan sudah sejak 30 tahun yang lalu. Awalnya barang-barang kuno, saya coba juga jualan kaset-kaset pita ternyata banyak peminatnya," katanya ditemui belum lama ini.

Lemari-lemari di lapak punya Ami Sahid ini, terpampang ribuan kaset pita. Dari berbagai genre. Tembang pop tempo dulu, rock and roll bahkan dangdut sekalipun dia jual. Medium perekaman musik tempo dulu ini masih punya pamor.

Bagi generasi 70, 80 dan 90-an, kaset pita tak cuma cerita soal frekuensi suara. Namun juga menuntun ingatan tentang memori lampau. Misalnya saja mengingat hal konyol, menggulung pita kusut secara manual dengan jari atau pulpen. 

Kemudian memasukan kaset ke tape recorder, lalu me-rewind atau mem-forward dan mem-play dengan menekan tombol fisik berlogo masing-masing. Suara perputaran kaset akan terdengar sayup dari balik kotak player kaset tersebut. Masa-masa itu tentu masih membekas di kepala. 

“Kaset dari 80-an, 70an. Harganya mulai Rp10 ribu. Koleksi album didominasi Indonesia tahun 1970-an. Namun, banyak yang memburu kaset barat. Album Indo misalnya Koes Plus, A Rafiq, Rhoma Irama dan orkes Melayu. Kalau lagu barat ada juga, biasa anak muda untuk jadi koleksi,” ceritanya.

Meski dikepung teknologi, Ami Sahid punya keyakinan kaset pita tetap jadi permata di tengah industri musik tanah air. Levelnya bakal menyamai piringan hitam. Klasik, otentik dan tentu saja bernilai. Sebuah harta dari waktu silam.
  
"Saya juga membeli kalau ada yang jual ke sini. Biasa yang bawa dari kampung, meski sekarang saya percaya tetap ada pangsa pasarnya. Biasa ada yang cari lagu-lagu lama sampai sekarang. Masih ada lah yang simpan tape, sampai sekarang masih ada yang beli, meski tak seramai dulu,” katanya.

Ribuan kaset pita yang dijual Ami Sahid tersebut, masih dalam kondisi sangat baik dan dapat diputar. Menjual kaset pita baginya sama dengan menjaga warisan karya seni. 

"Untuk kondisi kaset masih bagus, suaranya juga original, ada lagu dangdut, orkes melayu, banyak lagi saya juga gak hafal,” pungkasnya. (anp)

0

0

You can share on :

0 Komentar