Pengamat Politik sebut kemunculan Ganjar Pranowo di Azan TV RCTI bukanlah politik identitas. (Suara Merdeka)

PIFA, Politik - Akademisi sekaligus pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, seorang, menyatakan bahwa kemunculan calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ganjar Pranowo, dalam tayangan azan di stasiun televisi RCTI bukanlah tindakan politik identitas. Menurutnya, penampilan Ganjar dalam konteks seperti itu serupa dengan munculnya tokoh politik dalam iklan selama hari-hari besar keagamaan lainnya.

"Jelas bukan politik identitas. Politik identitas tak sederhana begitu definisinya. Itu hanya tayangan orang sholat. Mengajak kebaikan," tegas Adi, seperti dikutip dari Tempo.co, Senin (11/9).

Adi juga menjelaskan bahwa kemunculan elit politik dalam video semacam itu adalah hal yang umum dan biasa. Tidak hanya dalam konteks azan, elit politik juga melakukan praktik serupa saat iklan selama bulan Ramadhan atau perayaan hari besar lainnya.

"Banyak sekali elit negara yang tampil jelang dan saat buka puasa bilang marhaban ya Ramadhan dan mengucapkan selamat berpuasa, dituding politik identitas? Padahal bukan politik identitas," tandasnya. 

Adi juga mengklarifikasi bahwa politik identitas adalah aktivitas politik yang mencoba mengarahkan pemilih untuk memilih calon dalam pemilihan umum berdasarkan faktor-faktor seperti agama, suku, dan ras, dengan tujuan mempengaruhi pemilih untuk mendukung calon tertentu dan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) hanya untuk memilih calon yang didukungnya.

"Jadi, politik identitas itu aktivitas politik, bukan aktivitas ibadah," tegasnya.

Dalam konteks seorang politikus atau calon presiden yang terlihat mengikuti salat atau ritual keagamaan lainnya, ini lebih kepada ekspresi relijiusitas.

"Mengikuti salat, ikut pengajian, dan seterusnya, itu bukan politik identitas. Tapi bagian sisi relijiusitas," kata Adi.

Adi juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap rendahnya tingkat literasi politik di kalangan masyarakat saat ini. Ia menyoroti bahwa bukan hanya masyarakat umum, bahkan elit politik juga memiliki pemahaman yang kurang dalam hal ini.

 

"Seakan semua yang berkaitan dengan simbol agama adalah politik identitas. Padahal sebatas relijiusitas," ungkap Adi.

Menyikapi tahun politik yang semakin mendekat, Adi menyatakan bahwa dinamika politik akan semakin rumit jika setiap tindakan politisi dianggap sebagai politik identitas.

 

"Repot kalau pake kopiah dituding politik identitas. Repot kalau orang sholat, ngaji, sedekah, dan lain-lain dituding politik identitas," tuturnya.

Adi juga memberikan contoh praktik politik identitas yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilpres 2019 di Indonesia. Ia mencatat bahwa dalam kedua ajang tersebut, terdapat upaya untuk memobilisasi dukungan kepada calon tertentu dengan menggunakan simbol-simbol agama.

 

"Ada pendukung calon tertentu yang menuding pihak lain kafir dan setan. Sementara jagoannya diklaim paling malaikat," terang dia.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Anwar Abbas, juga menanggapi video yang viral tersebut. Dia menilai apa yang dilakukan Ganjar sebagai sebuah hal yang sangat positif.

Menurut Anwar, tayangan ini memiliki nilai dakwah yang kuat, karena mengajak masyarakat untuk beribadah.

"Bagi saya pribadi tayangan azan dengan memunculkan video Ganjar Pranowo tidaklah bermasalah bahkan hal demikian menurut saya sangat bagus karena di dalamnya ada muatan dakwah yaitu mengajak orang untuk sholat atau berbuat baik apalagi yang tampil itu adalah seorang tokoh yang merupakan bakal calon presiden," ungkap Anwar dalam keterangannya, Minggu (10/9), mengutip CNN Indonesia. (yd)

PIFA, Politik - Akademisi sekaligus pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, seorang, menyatakan bahwa kemunculan calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ganjar Pranowo, dalam tayangan azan di stasiun televisi RCTI bukanlah tindakan politik identitas. Menurutnya, penampilan Ganjar dalam konteks seperti itu serupa dengan munculnya tokoh politik dalam iklan selama hari-hari besar keagamaan lainnya.

"Jelas bukan politik identitas. Politik identitas tak sederhana begitu definisinya. Itu hanya tayangan orang sholat. Mengajak kebaikan," tegas Adi, seperti dikutip dari Tempo.co, Senin (11/9).

Adi juga menjelaskan bahwa kemunculan elit politik dalam video semacam itu adalah hal yang umum dan biasa. Tidak hanya dalam konteks azan, elit politik juga melakukan praktik serupa saat iklan selama bulan Ramadhan atau perayaan hari besar lainnya.

"Banyak sekali elit negara yang tampil jelang dan saat buka puasa bilang marhaban ya Ramadhan dan mengucapkan selamat berpuasa, dituding politik identitas? Padahal bukan politik identitas," tandasnya. 

Adi juga mengklarifikasi bahwa politik identitas adalah aktivitas politik yang mencoba mengarahkan pemilih untuk memilih calon dalam pemilihan umum berdasarkan faktor-faktor seperti agama, suku, dan ras, dengan tujuan mempengaruhi pemilih untuk mendukung calon tertentu dan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) hanya untuk memilih calon yang didukungnya.

"Jadi, politik identitas itu aktivitas politik, bukan aktivitas ibadah," tegasnya.

Dalam konteks seorang politikus atau calon presiden yang terlihat mengikuti salat atau ritual keagamaan lainnya, ini lebih kepada ekspresi relijiusitas.

"Mengikuti salat, ikut pengajian, dan seterusnya, itu bukan politik identitas. Tapi bagian sisi relijiusitas," kata Adi.

Adi juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap rendahnya tingkat literasi politik di kalangan masyarakat saat ini. Ia menyoroti bahwa bukan hanya masyarakat umum, bahkan elit politik juga memiliki pemahaman yang kurang dalam hal ini.

 

"Seakan semua yang berkaitan dengan simbol agama adalah politik identitas. Padahal sebatas relijiusitas," ungkap Adi.

Menyikapi tahun politik yang semakin mendekat, Adi menyatakan bahwa dinamika politik akan semakin rumit jika setiap tindakan politisi dianggap sebagai politik identitas.

 

"Repot kalau pake kopiah dituding politik identitas. Repot kalau orang sholat, ngaji, sedekah, dan lain-lain dituding politik identitas," tuturnya.

Adi juga memberikan contoh praktik politik identitas yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilpres 2019 di Indonesia. Ia mencatat bahwa dalam kedua ajang tersebut, terdapat upaya untuk memobilisasi dukungan kepada calon tertentu dengan menggunakan simbol-simbol agama.

 

"Ada pendukung calon tertentu yang menuding pihak lain kafir dan setan. Sementara jagoannya diklaim paling malaikat," terang dia.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Anwar Abbas, juga menanggapi video yang viral tersebut. Dia menilai apa yang dilakukan Ganjar sebagai sebuah hal yang sangat positif.

Menurut Anwar, tayangan ini memiliki nilai dakwah yang kuat, karena mengajak masyarakat untuk beribadah.

"Bagi saya pribadi tayangan azan dengan memunculkan video Ganjar Pranowo tidaklah bermasalah bahkan hal demikian menurut saya sangat bagus karena di dalamnya ada muatan dakwah yaitu mengajak orang untuk sholat atau berbuat baik apalagi yang tampil itu adalah seorang tokoh yang merupakan bakal calon presiden," ungkap Anwar dalam keterangannya, Minggu (10/9), mengutip CNN Indonesia. (yd)

0

0

You can share on :

0 Komentar