Pj Gubernur Kalbar Harisson akan Panggil ASN yang Diduga Terlibat Kampanye Pilkada
Kalbar | Kamis, 10 Oktober 2024
Penjabat (Pj) Gubernur Kalimantan Barat Harisson akan memanggil oknum ASN yang ikut kampanye di Pilkada 2024. (Dok. PIFA/Lydia Salsabila)
Kalbar | Kamis, 10 Oktober 2024
Politik
PIFA, Politik - Bertempat di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/5/2023), Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan dengan para pimpinan media, dalam kesempatan itu Jokowi menegaskan bahwa dirinya cawe-cawe. Jokowi mengingatkan agar pernyataannya soal cawe-cawe itu tidak disalahartikan. "Jangan terus dianggap saya cawe-cawe urusan politik praktis," kata dia menambahkan. Termasuk dalam urusan mengundang para pimpinan parpol, ditegaskannya sebagai upaya untuk memastikan negara ini tetap berjalan baik pada masa mendatang. Hal yang disampaikannya dalam pertemuan dengan para pimpinan parpol, kata Jokowi, adalah soal kesempatan emas Indonesia yang tidak boleh dilewatkan. "Tiga belas tahun ke depan sangat menentukan," ujar Jokowi menegaskan. Ketua Majelis Syura Partai Ummat, Amien Rais, melontarkan kritik keras atas pernyataan Presiden Jokowi yang siap cawe-cawe memastikan Pilpres 2024 berjalan demokratis. Menurut Amien, Jokowi akan cawe-cawe mengatur kemenangan calon presiden (capres) penerusnya. "Mengenai Pilpres 2024, di beberapa kesempatan Jokowi tegas mengatakan tidak ada yang salah kalau dia cawe-cawe mengatur kemenangan jagoannya supaya jadi presiden penerusnya. Ini sebuah logika tanpa etika," kata Amien lewat kanal YouTube resminya, Amien Rais Official, dikutip Jumat (2/6/2023). Amien menjelaskan, dalam bahasa Jawa, istilah cawe-cawe berarti mencampuri urusan orang yang bukan haknya. Menurut mantan Ketua MPR RI ini, Jokowi tak lagi sekadar cawe-cawe, tapi lebih kepada mengintervensi gelaran Pilpres 2024 dengan segala sumber daya yang dimilikinya. "Saya lihat Jokowi bukan lagi cawe-cawe, tapi intervensi langsung dengan mengerahkan semua resources yang dia miliki secara ugal-ugalan. Semua aparat di bawah kendalinya dikerahkan untuk mencapai target politiknya," kata Amien, dikutip dari Republika.com. (hs)
Nasional
PIFA, Nasional - Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, menegaskan bahwa tidak adanya backup Pusat Data Nasional (PDN) bukanlah masalah tata kelola, melainkan akibat kebodohan. Pernyataan ini disampaikan dalam rapat kerja Komisi I dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang berlangsung di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta Pusat. Meutya memberikan tanggapannya setelah Kepala BSSN, Hinsa Siburian, mengakui adanya kekurangan dalam tata kelola yang menyebabkan serangan siber terhadap PDN. "Kita ada kekurangan di tata kelola, kita memang akui itu, dan itu yang kita laporkan juga, karena kita diminta apa saja masalah kok bisa terjadi, itu salah satu yang kita laporkan," ujar Hinsa. Namun, Meutya menilai bahwa alasan tersebut tidak bisa diterima. Menurutnya, tidak adanya backup untuk PDN menunjukkan kebodohan dalam pengelolaan data nasional. "Kalau nggak ada backup itu bukan tata kelola sih Pak, kalau alasannya ini kan kita nggak hitung Surabaya, Batam backup kan karena cuma 2%, berarti itu bukan tata kelola, itu kebodohan aja sih, Pak," ujarnya. Meutya menekankan bahwa memiliki data nasional yang dipadukan dari seluruh kementerian seharusnya menjadi prioritas. "Punya Data Nasional dipadukan seluruh kementerian harusnya, untung katanya ke beberapa kementerian belum gabung. Masih untung orang Indonesia. Yang paling patuh imigrasi saya dengar itu yang paling nggak selamat," tambahnya. Menutup pernyataannya, Meutya kembali menegaskan bahwa masalah utama dalam kasus ini bukanlah tata kelola, tetapi kebodohan karena tidak adanya backup. "Intinya jangan bilang lagi tata kelola Pak, karena ini bukan masalah tata kelola, ini masalah kebodohan, punya data nasional tidak ada satu pun backup," imbuhnya. (ad)
Politik
PIFA.CO.ID, POLITIK - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengeksekusi mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat, sebagai tindak lanjut dari putusan pengadilan terkait kasus korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan) tahun 2020–2023."Pada 25 Maret lalu, KPK melakukan eksekusi pidana badan terhadap terpidana SYL di Sukamiskin," kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (15/5).SYL sebelumnya telah divonis 12 tahun penjara oleh pengadilan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi selama menjabat sebagai Menteri Pertanian. Selain pidana penjara, ia juga dijatuhi denda sebesar Rp500 juta serta diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp44 miliar dan 30.000 dolar Amerika Serikat.Menurut Budi, KPK hingga kini masih menerima cicilan pembayaran sebagian dari denda maupun uang pengganti yang menjadi kewajiban hukum SYL. "Sampai saat ini KPK juga masih terus menerima beberapa pembayaran sebagian dari denda ataupun uang pengganti pada perkara tersebut," ungkapnya.Namun demikian, Budi menambahkan bahwa sejumlah barang bukti yang berkaitan dengan perkara SYL belum dapat dirampas. Alasannya, barang-barang tersebut masih dibutuhkan dalam proses penyidikan perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang juga menjerat SYL.Penyidikan kasus TPPU tersebut masih berlangsung. Pada hari yang sama, Rabu (15/5), KPK memanggil dan memeriksa Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Hermanto, sebagai saksi dalam kasus pencucian uang yang melibatkan mantan Menteri asal Partai NasDem itu.“Pemeriksaan terhadap sejumlah saksi terus dilakukan, termasuk Hermanto yang hari ini kami panggil dalam kaitannya dengan penyidikan TPPU Syahrul Yasin Limpo,” ujar Budi.KPK menegaskan komitmennya untuk menuntaskan seluruh rangkaian kasus yang melibatkan SYL, baik dalam perkara pokok korupsi maupun dugaan pencucian uang yang diduga dilakukan untuk menyamarkan hasil kejahatan.Penahanan SYL di Lapas Sukamiskin menandai babak baru dalam perjalanan hukum mantan pejabat tinggi negara tersebut. Sukamiskin sendiri dikenal sebagai lembaga pemasyarakatan khusus bagi narapidana tindak pidana korupsi.Kasus yang menjerat SYL menjadi salah satu sorotan publik dalam beberapa tahun terakhir, mengingat posisinya sebagai menteri yang seharusnya menjaga integritas dalam pengelolaan sektor strategis seperti pertanian. Proses hukum yang terus berlanjut, terutama terkait TPPU, diharapkan dapat mengungkap lebih jauh aliran dana hasil korupsi serta pihak-pihak lain yang turut terlibat.