Rektor UII Yogyakarta Enggan Dipanggil Prof, Kritik Komersialisasi Akademik
Yogyakarta | Jumat, 19 Juli 2024
PIFA, Nasional - Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, telah membuat gebrakan dengan menyatakan bahwa ia tidak ingin lagi dipanggil dengan sebutan profesor atau prof. Langkah ini diambil sebagai bentuk kritik terhadap tren perguruan tinggi yang kerap mengobral gelar profesor kehormatan kepada non akademik, politisi, hingga pejabat publik, yang menurutnya mengaburkan esensi jabatan profesor.
Fathul berharap langkah ini bisa mengembalikan martabat perguruan tinggi dengan menekankan bahwa jabatan profesor bukan sekadar status individu, melainkan amanah besar yang harus ditunaikan.
"Itu juga saya harapkan ke sana (perlawanan tren obral gelar). Jadi intinya kembali kepada dasarnya aja kok, nilai dasarnya gimana kembali ke situ, tidak ada sesuatu yang luar biasa dengan gerakan ini. Cuma karena kondisinya seperti sekarang jadi dianggap jadi luar biasa," ujar Fathul pada Jumat (19/7).
Fathul menegaskan bahwa gelar profesor adalah capaian tertinggi yang seharusnya tidak dirayakan secara berlebihan mengingat tanggung jawab publik yang besar di baliknya. Ia berharap profesornya bisa menjadi intelektual publik yang berani keluar dari disiplin ilmunya dan berkontribusi pada masalah-masalah publik, mengungkap kebohongan, dan menyuarakan kebenaran saat ada penyelewengan.
Sebagai rektor dua periode, Fathul berharap langkahnya ini menjadi upaya untuk membenahi pemberian gelar akademik dan memurnikan jabatan profesor. Ia juga ingin meningkatkan kolegialitas di lingkungan kampus yang beriklim egaliter. Meski ada yang tidak sepakat, lebih banyak dukungan yang mengalir, dan ia menekankan bahwa upayanya ini tanpa paksaan.
Fathul telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 2748/Rek/10/SP/VII/2024 yang meminta agar gelar akademiknya tidak dicantumkan dalam surat, dokumen, serta produk hukum kampusnya. Dalam surat tersebut, ia meminta agar namanya dituliskan tanpa gelar menjadi "Fathul Wahid". Lewat akun Facebook pribadinya, Fathul juga menyampaikan dirinya tidak mau lagi dipanggil dengan sebutan 'prof', melainkan cukup dengan Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul.
Bagi Fathul, sangat tidak relevan secara moral ketika tanggung jawab akademik dicantumkan dalam berbagai surat, dokumen, bahkan kartu nama. Ia juga menyebut langkah ini sebagai perlawanan terhadap komersialisasi gelar akademik oleh individu di sektor non akademik, politisi, dan pejabat publik. Tren ini, menurutnya, hanya akan mencoreng peradaban pendidikan.
"Kita tidak ingin ke depan di Indonesia paling tidak, ada lah sekelompok orang termasuk para politisi dan pejabat itu mengejar-ngejar jabatan ini. Karena yang dilihat tampaknya lebih ke status ya. Bukan sebagai tanggung jawab amanah," katanya. (ad)