Selain Hijab, Pemerintah Tajikistan juga Larang Warga Memanjangkan Jenggot
Tajikistan | Jumat, 28 Juni 2024
PIFA, Internasional - Pemerintah Tajikistan saat ini menjadi sorotan internasional setelah melarang perempuan mengenakan hijab melalui undang-undang baru. Selain itu, kebijakan informal yang diterapkan oleh kepolisian juga melarang warga pria memiliki jenggot panjang dengan alasan dianggap sebagai indikasi ekstremisme.
Menurut laporan dari The Guardian, pada April 2015, seorang blogger terkenal, Rustam Gulov, mengaku dipaksa mencukur jenggotnya setelah ditahan oleh polisi. Di ruangan cukur, Gulov melihat rambut-rambut yang diperkirakan milik sekitar 250 pria lainnya yang juga dipaksa mencukur jenggot mereka.
Pada September 2015, seorang pria berusia 23 tahun bernama Umar Bobojonov meninggal di rumah sakit setelah diduga dipukuli oleh polisi karena memiliki jenggot. Keluarganya mengklaim bahwa dia dipukul hingga tewas akibat janggutnya. Namun, Kementerian Dalam Negeri Tajikistan membantah adanya larangan pemerintah terhadap pria berjanggut. Mereka menyatakan bahwa polisi hanya diperbolehkan memastikan kebersihan pribadi pria berjanggut.
Laporan BBC pada 2016 juga menunjukkan bahwa di ibu kota Dushanbe, para pria berjenggot dibawa ke kantor polisi dan dicukur secara paksa sebagai bagian dari "kampanye anti-radikalisasi". Polisi di wilayah Khatlon mengklaim telah mencukur jenggot hampir 13 ribu pria dalam kampanye ini.
Radio Free Europe (RFE) pada 2019 melaporkan bahwa pria di Tajikistan sulit mendapatkan paspor jika memiliki janggut. Banyak pria mengaku diminta untuk mencukur jenggot mereka jika ingin mendapatkan dokumen perjalanan internasional. Soleh Navruzov, seorang pria berusia 51 tahun, mengatakan bahwa dia ditolak pembuatan paspor karena fotonya menunjukkan dia berjanggut.
Pada 2011, pemain sepak bola Parviz Tursunov dilarang bermain di pertandingan kejuaraan nasional Tajikistan karena menolak untuk memendekkan janggutnya. Tursunov akhirnya keluar dari Liga Tajik dan pindah ke Dubai sebelum mencari suaka di Eropa.
Kebijakan ini memicu banyak kritik dari berbagai pihak yang menilai pemerintah Tajikistan melanggar hak asasi manusia dengan mengatur cara berpakaian dan penampilan warga negara. Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon, yang dianggap anti-Islam, juga menuai kritik karena kebijakan-kebijakan ini. (ad)