Viral Sekolah Swasta Diminta Iuran Keamanan RW Rp105 Juta per Bulan, Ini Duduk Perkaranya
PIFA, Nasional - Konflik antara pengelola sekolah swasta, SMP dan SMA Petra, dengan warga Manyar, Mulyorejo, Surabaya, semakin memanas. Perseteruan ini dipicu oleh penolakan pihak sekolah terhadap kenaikan iuran keamanan yang diminta oleh pihak RW setempat, yang akhirnya berujung pada penutupan satu-satunya akses jalan menuju sekolah oleh warga.
Permasalahan ini mencuat setelah pihak sekolah melaporkan adanya kenaikan iuran keamanan yang dinilai tidak wajar. Mulanya, iuran keamanan yang dibayar sekolah sebesar Rp25 juta per bulan, kemudian naik menjadi Rp32 juta. Kenaikan tersebut masih diterima oleh pihak sekolah. Namun, ketika iuran kembali dinaikkan menjadi Rp35 juta per bulan, pihak sekolah mengaku keberatan dan memutuskan untuk menolak pembayaran tersebut.
Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, yang ikut menengahi permasalahan ini, menjelaskan bahwa ada tiga RW di wilayah tersebut—RW 4, RW 5, dan RW 7—yang masing-masing membayar iuran keamanan kepada Bendahara Keamanan yang ditunjuk. Namun, pihak sekolah juga diminta membayar iuran yang sama, meski mereka merasa tidak pernah mendapat transparansi atau laporan pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut.
"Awalnya Rp25 juta per bulan, naik Rp32 juta itu sekolah masih mau bayar. Tapi ketika dinaikkan lagi jadi Rp35 juta, sekolah tidak mau dan merasa keberatan," kata Armuji pada Jumat (2/8).
Christin Novianty, Kepala Bagian Legal Perhimpunan Pendidikan dan Pengajaran Kristen Petra (PPPKP), menyatakan bahwa konflik ini bermula ketika sekolah menerima informasi mendadak tentang kenaikan iuran tersebut tanpa adanya diskusi sebelumnya. Christin menyayangkan sikap pihak RW yang tidak mengajak pihak sekolah untuk berdialog sebelum memutuskan kenaikan tersebut.
"Pihak sekolah mempertanyakan kenaikan yang mendadak ini, kenapa sekolah tidak diajak bicara terlebih dahulu. Ini tidak adil," ucap Christin.
Sekolah juga sempat meminta laporan pertanggungjawaban penggunaan dana, namun permintaan tersebut tidak direspons oleh pihak RW. Bahkan, akses jalan menuju sekolah sempat ditutup oleh warga sebagai bentuk protes.
Setelah mediasi, kesepakatan awal antara kedua belah pihak menyebutkan bahwa akses jalan tidak akan ditutup dan laporan pertanggungjawaban akan diberikan. Namun, seiring berjalannya waktu, pihak RW tidak kunjung memberikan laporan yang diminta dan tidak merespons surat-surat dari pihak sekolah.
Merasa tidak mendapatkan solusi yang memuaskan, pihak sekolah akhirnya melaporkan permasalahan ini ke DPRD Surabaya. Dewan kemudian meminta Dinas Perhubungan (Dishub) untuk melakukan kajian lalu lintas di beberapa jalan sekitar sekolah untuk mengatasi kemacetan yang dilaporkan oleh pihak RW. Sayangnya, langkah ini juga mendapat reaksi negatif dari pihak RW yang membuat video viral di media sosial, menuduh sekolah sebagai penyebab kemacetan.
Christin berharap semua pihak bisa duduk bersama untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik. Namun, jika mediasi gagal, pihak sekolah siap untuk menempuh jalur hukum demi menyelesaikan konflik ini.
"Kita enggak muluk-muluk, maunya tetap ada komunikasi dengan RW karena masih tinggal di wilayah yang sama. Kalau nanti terus seperti ini, [akses] ditutup, terpaksa ambil jalur hukum," katanya. (ad)