Warga Gugat Ketua Pengadilan Negeri Pontianak Buntut Eksekusi Lahan yang Dianggap Cacat Administrasi
Pontianak | Kamis, 7 September 2023
PIFA, Lokal - Ketua Pengadilan Negeri Pontianak, Akhmad Fijiarsyah Joko Sutrisno digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak oleh seorang warga bernama Flavianus Fexa.
Flavianus Fexa mengutarakan, gugatan itu buntut dari penerbitan surat keputusan pelaksanaan sita eksekusi tanah seluas 20 hektar di Kecamatan Jongkat, Kabupaten Mempawah. Menurutnya sita eksekusi itu cacat administrasi.
"Gugatan administrasi itu resmi diajukan pada 22 Agustus 2023. Dengan objek gugatan surat nomor W17-U5/1983/HK.02/6/2024 tanggal 20 Juni 2023 perihal pelaksanaan sita eksekusi yang dilakukan PN Pontianak," ujarnya.
Menindaklanjuti gugatan, PTUN Pontianak pun telah menggelar sidang gugatan yang dipimpin hakim tunggal, Susilowati Siahaan. Setidaknya sidang itu sudah digelar sebanyak dua kali dan berlangsung secara tertutup.
Pertama, sidang digelar pada Kamis 31 Agustus 2023 dengan agenda pemeriksaan berkas penggugat. Sidang itu tak dihadiri ketua pengadilan negeri.
Sementara sidang kedua, berlangsung pada Kamis (7/9/2023). Agenda sidang masih sama dan juga tak dihadiri oleh ketua pengadilan hanya diwakili.
Dia menerangkan, gugatan terhadap KPN Pontianak berawal dari adanya pemohon Gunawan Tjandra yang telah meninggal mengajukan permohonan eksekusi kepada PN Pontianak.
Padahal, kuasa hukum tergugat sendiri dalam persidangan di PN Mempawah pada 3 Juni 2021 menyampaikan bahwa kliennya, Gunawan Tjandra sudah meninggal.
Saat persidangan, kata Flavianus, kuasa hukum tergugat menyerahkan buku fotokopi akta kematian Gunawan Tjandra yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta.
"Bahkan fotokopi akta tersebut sudah dicocokkan dengan surat kematian yang asli. Yang bersangkutan meninggal 4 Mei 2021 di Jakarta," jelasnya,
Dia menjelaskan, sebelum surat sita eksekusi KPN Pontianak tersebut diterbitkan, pada 7 Januari telah berlangsung panggilan Aanmaning yakni teguran Ketua Pengadilan Negeri kepada pihaknya untuk menyerahkan objek perkara yang telah dimenangkan pihak Gunawan Tjandra.
Usai Aanmaning itu, kemudian ahli waris almarhum Gunawan Tjandra mengajukan konsinyasi dengan menitipkan uang sebesar Rp1,6 miliar lebih ke PN Pontianak untuk pembayaran jual beli tanah seluas 20 hektar di Kecamatan Wajok tersebut.
"Bahwa konsinyasi membuktikan memang benar sejak awal Gunawan Tjandra tidak membayar jual beli tanah," katanya.
Kendati demikian, KPN Pontianak justru mengeluarkan surat pelaksanaan sita eksekusi yang dimohonkan oleh orang yang sudah meninggal, yakni Gunawan Tjandra.
Dengan demikian, surat sita eksekusi yang diterbitkan KPN Pontianak dengan objek perkara tanah seluas 20 hektar di Kecamatan Jongkat, Kabupaten Mempawah dinilainya cacat administrasi serta yuridis.
Dia menegaskan, surat sita eksekusi tersebut membuktikan pada putusan majelis hakim PN Pontianak terhadap perkara wanprestasi yang diajukan Gunawan Tjandra ke PN Pontianak pada 2006.
Pada putusan kasasi Mahkamah Agung, pihak tergugat dimenangkan, hal ini diduga merupakan tindakan kejahatan dalam jabatan yang dilakukan oleh majelis hakim dan panitera perkara PN Pontianak.
Hal ini katanya, membuktikan dengan sempurna dan tidak terbantahkan bahwa putusan tersebut telah dirancang oleh aparat dan pejabat peradilan.
"Berdasarkan keterangan Cau Phen yang adalaha anak buah Gunawan Tjandra saat persidangan, uang tersebut masih ada di rekening mereka. Fakta persidangan jelas bahwa uang pembayaran jual beli itu tidak pernah dibayarkan dan masih berada di rekening karyawan," jelasnya.
Flavianus merasa ada kejanggalan, sebab fakta tersebut hilang dalam berita acara persidangan. Kemudian dibuat seolah-olah sudah dibayar namun ada kekurangan.
"Dari berita acara yang diduga sudah direkayasa, majelis hakim mengabulkan permohonan gugatan wanprestasi penggugat. Dengan putusan menyatakan pihaknya wanprestasi," jelasnya.
Dia mengungkapkan, dalam fakta persidangan, saksi-saksi yang dihadirkan, mulai notaris, bank dan karyawan penggugat, menyampaikan uang pembayaran atas jual beli gudang tersebut tidak pernah dibayarkan.
Sehingga, kata Flavianus peristiwa yang terjadi membuktikan bahwa putusan majelis hakim PN Pontianak pada perkara wanprestasi tersebut memperlihatkan bahwa putusan itu terindikasi korupsi.
Eksekusi dilaksanakan dengan alasan menipu, memproses permohonan eksekusi oleh orang yang sudah meninggal. Dan ini dianggapnya ada permainan.
"Surat pelaksanaan sita eksekusi yang diterbitkan KPN Pontianak hingga eksekusi adalah bentuk kesewenang-wenangan, melanggar hukum, merugikan masyarakat," tegasnya.
Flavianus pun berharap hakim PTUN Pontianak yang memimpin gugatan ini, dapat menyatakan bahwa surat sita eksekusi KPN Pontianak tertanggal 20 Juni 2023 batal dan tidak sah.
"Berikut dengan segala urutan-urutannya. Dari yang mendahului maupun yang menjadi kelanjutan," tandasnya.
Sementara itu, Ketua Pengadilan Negeri Pontianak belum memberikan tanggapan terhadap gugatan yang menyeret namanya ini. Upaya yang dilakukan wartawan untuk mengonfirmasi belum dapat dilakukan lantaran ketua pengadilan sedang bertugas. (ap)