Launching Project Base LBH Kalbar di Lembaga Gemawan, Pontianak, Kamis (15/9/2022). (Foto: Dok. PIFA)

Berita Lokal, PIFA – Bertepatan dengan Hari Demokrasi Internasional, dilaksanakan peluncuran Project Base Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kalbar, di Lembaga Gemawan, Jalan Ujung Pandang, No 89, Pontianak, Kamis (15/09/2022). 

“Project Base LBH Kalbar akan menjadi bagian LBH-YLBHI, bersama 17 LBH Kantor di 17 provinsi lainnya,” kata Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). 

Dia menjelaskan, bahwa dalam setahun status Project Base akan dinilai, apakah nantinya layak ditingkatkan menjadi Kantor LBH Kalbar.  

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia didirikan pada 26 Oktober 1970 atas inisiatif Dr Adnan Buyung Nasution, SH yang didukung penuh oleh Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta saat itu. Bantuan hukum untuk rakyat miskin, buta hukum, dan korban pelanggaran HAM. 

Pendirian Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta diikuti dengan pendirian kantor-kantor cabang LBH di daerah seperti Banda Aceh, Medan, Palembang, Padang, Bandar Lampung, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Makassar, Manado, Papua dan Pekanbaru. 

Pembentukan Project Base LBH Kalbar bertujuan sebagai support system bagi masyarakat sipil dalam upaya perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di Kalimantan Barat. 

“Kasus di Kalbar itu runyam. Jika kasusnya orang biasa cepat sekali ditindak dan ada yang diarahkan menjadi dikriminalisasi. Tapi kasus HGU (hak guna usaha) 27 perusahaan tambang yang belum clean and clear, kasusnya tidak jalan,” kata Kepala Project Base LBH Kalbar, Ivan Wagner. 

Pada talkshow launching Project Base LBH Kalbar, dibahas beberapa kasus kriminalisasi. Yustina Sabu, bercerita tentang kasus peretasan data digital dan kriminalisasi yang dialaminya. 

“WA saya diretas, dibuat seolah-olah saya menyebar pesan ke grup WA. Isi WA-nya soalah-olah saya akan mengebom Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri (STAKatN) Pontianak. Anehnya teman-teman saya tidak ada yang terima WA itu. Hanya polisi yang tahu,” tuturnya. 

Dia menduga mengalami kasus tersebut karena bergabung dalam gerakan anti-korupsi. Yustina Sabu sempat merasa syok dan bingung karena dicari-cari polisi. Melalui jejaring yang menjadi cikal bakal Project Base LBH Kalbar, dia mendapat bantuan pendampingan hukum. 

“Harapan saya, LBH Kalbar memberikan pendampingan hukum tidak hanya kepada korban, melainkan juga keluarga korban. Seperti pada kasus saya, ibu dan paman saya juga terdampak,” katanya.  

Kasus kriminalisasi juga diceritakan Nikodemus Alle, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar. 

“Saya lihat di depan mata saya, dua ibu dan satu anak menangis minta tolong saat suaminya ditangkap polisi. Gara-gara mereka mempertahankan hutan dan rumah,” ujarnya. 

Menurut Niko, kasus konflik sumber daya alam (SDA) terjadi di seluruh kabupaten/kota Kalbar. UU Cipta Kerja mengakibatkan makin meningkatnya potensi konflik SDA di Kalbar dan Indonesia. Sedangkan masyarakat sangat minim mendapatkan bantuan hukum. 

“LBH Kalbar ini adalah kerinduan kami. Dulu kami buat green lawyer (pengacara yang mengadvokasi kasus SDA) tapi tidak berhasil terbentuk,” jelasnya. 

Dalam kondisi yang dihadapi dengan kasus-kasus kriminalisasi, konflik SDA dan lainnya, Subandri Simbolon, dosen STAKatN Pontianak, mempertanyakan ulang hubungan negara dan warga negara. 

“Bagaimana bisa negara yang kita serahkan kekuasaan, justru merepresi dan mengkriminalisasi?” kata Subandri. 

Berkaca dari kasus-kasus yang dihadapi masyarakat di Kalbar, sejumlah  individu dan kelompok masyarakat sipil di Kalbar mendorong berdirinya Project Base LBH. 

Beberapa lembaga yang menjadi pendukung Project Base LBH Kalbar antara lain Mitra Sekolah Masyarakat (MiSeM), Satu Dalam Perbedaan (SADAP) Indonesia, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kalimantan Barat, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pontianak, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Tanjungpura, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) WARTA IAIN Pontianak, dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional. (ap)

Berita Lokal, PIFA – Bertepatan dengan Hari Demokrasi Internasional, dilaksanakan peluncuran Project Base Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kalbar, di Lembaga Gemawan, Jalan Ujung Pandang, No 89, Pontianak, Kamis (15/09/2022). 

“Project Base LBH Kalbar akan menjadi bagian LBH-YLBHI, bersama 17 LBH Kantor di 17 provinsi lainnya,” kata Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). 

Dia menjelaskan, bahwa dalam setahun status Project Base akan dinilai, apakah nantinya layak ditingkatkan menjadi Kantor LBH Kalbar.  

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia didirikan pada 26 Oktober 1970 atas inisiatif Dr Adnan Buyung Nasution, SH yang didukung penuh oleh Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta saat itu. Bantuan hukum untuk rakyat miskin, buta hukum, dan korban pelanggaran HAM. 

Pendirian Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta diikuti dengan pendirian kantor-kantor cabang LBH di daerah seperti Banda Aceh, Medan, Palembang, Padang, Bandar Lampung, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Makassar, Manado, Papua dan Pekanbaru. 

Pembentukan Project Base LBH Kalbar bertujuan sebagai support system bagi masyarakat sipil dalam upaya perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di Kalimantan Barat. 

“Kasus di Kalbar itu runyam. Jika kasusnya orang biasa cepat sekali ditindak dan ada yang diarahkan menjadi dikriminalisasi. Tapi kasus HGU (hak guna usaha) 27 perusahaan tambang yang belum clean and clear, kasusnya tidak jalan,” kata Kepala Project Base LBH Kalbar, Ivan Wagner. 

Pada talkshow launching Project Base LBH Kalbar, dibahas beberapa kasus kriminalisasi. Yustina Sabu, bercerita tentang kasus peretasan data digital dan kriminalisasi yang dialaminya. 

“WA saya diretas, dibuat seolah-olah saya menyebar pesan ke grup WA. Isi WA-nya soalah-olah saya akan mengebom Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri (STAKatN) Pontianak. Anehnya teman-teman saya tidak ada yang terima WA itu. Hanya polisi yang tahu,” tuturnya. 

Dia menduga mengalami kasus tersebut karena bergabung dalam gerakan anti-korupsi. Yustina Sabu sempat merasa syok dan bingung karena dicari-cari polisi. Melalui jejaring yang menjadi cikal bakal Project Base LBH Kalbar, dia mendapat bantuan pendampingan hukum. 

“Harapan saya, LBH Kalbar memberikan pendampingan hukum tidak hanya kepada korban, melainkan juga keluarga korban. Seperti pada kasus saya, ibu dan paman saya juga terdampak,” katanya.  

Kasus kriminalisasi juga diceritakan Nikodemus Alle, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar. 

“Saya lihat di depan mata saya, dua ibu dan satu anak menangis minta tolong saat suaminya ditangkap polisi. Gara-gara mereka mempertahankan hutan dan rumah,” ujarnya. 

Menurut Niko, kasus konflik sumber daya alam (SDA) terjadi di seluruh kabupaten/kota Kalbar. UU Cipta Kerja mengakibatkan makin meningkatnya potensi konflik SDA di Kalbar dan Indonesia. Sedangkan masyarakat sangat minim mendapatkan bantuan hukum. 

“LBH Kalbar ini adalah kerinduan kami. Dulu kami buat green lawyer (pengacara yang mengadvokasi kasus SDA) tapi tidak berhasil terbentuk,” jelasnya. 

Dalam kondisi yang dihadapi dengan kasus-kasus kriminalisasi, konflik SDA dan lainnya, Subandri Simbolon, dosen STAKatN Pontianak, mempertanyakan ulang hubungan negara dan warga negara. 

“Bagaimana bisa negara yang kita serahkan kekuasaan, justru merepresi dan mengkriminalisasi?” kata Subandri. 

Berkaca dari kasus-kasus yang dihadapi masyarakat di Kalbar, sejumlah  individu dan kelompok masyarakat sipil di Kalbar mendorong berdirinya Project Base LBH. 

Beberapa lembaga yang menjadi pendukung Project Base LBH Kalbar antara lain Mitra Sekolah Masyarakat (MiSeM), Satu Dalam Perbedaan (SADAP) Indonesia, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kalimantan Barat, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pontianak, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Tanjungpura, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) WARTA IAIN Pontianak, dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional. (ap)

0

0

You can share on :

0 Komentar